Selasa, 22 Februari 2011

Adab Kelambu dimalam pertama



Dunia barat menganggap apa sahaja perbuatan yang dilakukan oleh pasangan suami isteri semasa setubuh malam pertama dan jimak adalah normal dan baik sekiranya perlakuan tersebut disetujui oleh kedua-dua pihak dan dapat merangsang seks.
Islam mempunyai adab yang terkandung di dalamnya nilai-nilai akhlak yang luhur bahkan mengandungi kebaikan dari segi kesihatan. Terdapat banyak petunjuk dalam al-Quran dan hadis yang membicarakan adab setubuh malam pertama dan jimak suami isteri.
Berikut adalah adab-adab setubuh malam pertama dan jimak yang dianjurkan oleh Islam:-
1. Sembahyang sunat dan berdoa malam pertama.
2. Berwuduk selepas melakukan persetubuhan.
3. Untuk memenuhi kewajipan terhadap Allah serta mengikuti sunnah Rasulullah saw.
4. Pergauli isteri dengan cara yang sopan.
5. Bercumbu-cumbuan terlebih dahulu.
6. Tidak mementingkan kepuasan diri.
7. Mengambilkira hak suami dan isteri berhubung dengan soal hubungan kelamin.
8. Keselesaan dalam hubungan kelamin.
9. Kesederhanaan.
10. Mensyukuri nikmat.
11. Tidak menyebarkan soal persetubuhan kepada pihak lain.

INSYA ALLAH NIAT AMAL.......

ADAB KELAMBU


Saat pertama kali pengantin pria menemui isterinya setelah aqad nikah, dianjurkan melakukan beberapa hal, sebagai berikut:

Pertama: Pengantin pria hendaknya meletakkan tangannya pada ubun-ubun isterinya seraya mendo’akan baginya. Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

“Apabila salah seorang dari kamu menikahi wanita atau membeli seorang budak maka peganglah ubun-ubunnya lalu bacalah ‘basmalah’ serta do’akanlah dengan do’a berkah seraya mengucapkan: ‘Ya Allah, aku memohon kebaikannya dan kebaikan tabiatnya yang ia bawa. Dan aku berlindung dari kejelekannya dan kejelekan tabiat yang ia bawa.’” [1]

Kedua: Hendaknya ia mengerjakan shalat sunnah dua raka’at bersama isterinya.

Syaikh al-Albani rahimahullaah berkata: “Hal itu telah ada sandarannya dari ulama Salaf (Shahabat dan Tabi’in).

1. Hadits dari Abu Sa’id maula (budak yang telah dimerdekakan) Abu Usaid.
Ia berkata: “Aku menikah ketika aku masih seorang budak. Ketika itu aku mengundang beberapa orang Shahabat Nabi, di antaranya ‘Abdullah bin Mas’ud, Abu Dzarr dan Hudzaifah radhiyallaahu ‘anhum. Lalu tibalah waktu shalat, Abu Dzarr bergegas untuk mengimami shalat. Tetapi mereka berkata: ‘Kamulah (Abu Sa’id) yang berhak!’ Ia (Abu Dzarr) berkata: ‘Apakah benar demikian?’ ‘Benar!’ jawab mereka. Aku pun maju mengimami mereka shalat. Ketika itu aku masih seorang budak. Selanjutnya mereka mengajariku, ‘Jika isterimu nanti datang menemuimu, hendaklah kalian berdua shalat dua raka’at. Lalu mintalah kepada Allah kebaikan isterimu itu dan mintalah perlindungan kepada-Nya dari keburukannya. Selanjutnya terserah kamu berdua...!’”[2]

2. Hadits dari Abu Waail.
Ia berkata, “Seseorang datang kepada ‘Abdullah bin Mas’ud radhiyallaahu ‘anhu, lalu ia berkata, ‘Aku menikah dengan seorang gadis, aku khawatir dia membenciku.’ ‘Abdullah bin Mas’ud berkata, ‘Sesungguhnya cinta berasal dari Allah, sedangkan kebencian berasal dari syaitan, untuk membenci apa-apa yang dihalalkan Allah. Jika isterimu datang kepadamu, maka perintahkanlah untuk melaksanakan shalat dua raka’at di belakangmu. Lalu ucapkanlah (berdo’alah):

“Ya Allah, berikanlah keberkahan kepadaku dan isteriku, serta berkahilah mereka dengan sebab aku. Ya Allah, berikanlah rizki kepadaku lantaran mereka, dan berikanlah rizki kepada mereka lantaran aku. Ya Allah, satukanlah antara kami (berdua) dalam kebaikan dan pisahkanlah antara kami (berdua) dalam kebaikan.” [3]

Ketiga: Bercumbu rayu dengan penuh kelembutan dan kemesraan. Misalnya dengan memberinya segelas air minum atau yang lainnya.

Hal ini berdasarkan hadits Asma’ binti Yazid binti as-Sakan radhiyallaahu ‘anha, ia berkata: “Saya merias ‘Aisyah untuk Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam. Setelah itu saya datangi dan saya panggil beliau supaya menghadiahkan sesuatu kepada ‘Aisyah. Beliau pun datang lalu duduk di samping ‘Aisyah. Ketika itu Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam disodori segelas susu. Setelah beliau minum, gelas itu beliau sodorkan kepada ‘Aisyah. Tetapi ‘Aisyah menundukkan kepalanya dan malu-malu.” ‘Asma binti Yazid berkata: “Aku menegur ‘Aisyah dan berkata kepadanya, ‘Ambillah gelas itu dari tangan Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam!’ Akhirnya ‘Aisyah pun meraih gelas itu dan meminum isinya sedikit.” [4]

Keempat: Berdo’a sebelum jima’ (bersenggama), yaitu ketika seorang suami hendak menggauli isterinya, hendaklah ia membaca do’a:

“Dengan menyebut nama Allah, Ya Allah, jauhkanlah aku dari syaitan dan jauhkanlah syaitan dari anak yang akan Engkau karuniakan kepada kami.”

Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Maka, apabila Allah menetapkan lahirnya seorang anak dari hubungan antara keduanya, niscaya syaitan tidak akan membahayakannya selama-lamanya.” [5]

Kelima: Suami boleh menggauli isterinya dengan cara bagaimana pun yang disukainya asalkan pada kemaluannya.

Allah Ta’ala berfirman:

"Artinya : Isteri-Isterimu adalah ladang bagimu, maka datangi-lah ladangmu itu kapan saja dengan cara yang kamu sukai. Dan utamakanlah (yang baik) untuk dirimu. Bertaqwalah kepada Allah dan ketahuilah bahwa kamu (kelak) akan menemui-Nya. Dan sampaikanlah kabar gembira kepada orang yang beriman.” [Al-Baqarah : 223]

Ibnu ‘Abbas radhiyallaahu ‘anhuma berkata, “Pernah suatu ketika ‘Umar bin al-Khaththab radhiyallaahu ‘anhu datang kepada Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam, lalu ia berkata, ‘Wahai Rasulullah, celaka saya.’ Beliau bertanya, ‘Apa yang membuatmu celaka?’ ‘Umar menjawab, ‘Saya membalikkan pelana saya tadi malam.’ [6] Dan beliau shallallaahu ‘alaihi wa sallam tidak memberikan komentar apa pun, hingga turunlah ayat kepada beliau:

"Isteri-Isterimu adalah ladang bagimu, maka datangilah ladangmu itu kapan saja dengan cara yang kamu sukai...” [Al-Baqarah : 223]

Lalu Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

"Setubuhilah isterimu dari arah depan atau dari arah belakang, tetapi hindarilah (jangan engkau menyetubuhinya) di dubur dan ketika sedang haidh". [7]

Juga berdasarkan sabda Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam:

"Silahkan menggaulinya dari arah depan atau dari belakang asalkan pada kemaluannya".[8]

Seorang Suami Dianjurkan Mencampuri Isterinya Kapan Waktu Saja
• Apabila suami telah melepaskan hajat biologisnya, janganlah ia tergesa-gesa bangkit hingga isterinya melepaskan hajatnya juga. Sebab dengan cara seperti itu terbukti dapat melanggengkan keharmonisan dan kasih sayang antara keduanya. Apabila suami mampu dan ingin mengulangi jima’ sekali lagi, maka hendaknya ia berwudhu’ terlebih dahulu.

Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

"Jika seseorang diantara kalian menggauli isterinya kemudian ingin mengulanginya lagi, maka hendaklah ia berwudhu’ terlebih dahulu.” [9]

• Yang afdhal (lebih utama) adalah mandi terlebih dahulu. Hal ini berdasarkan hadits dari Abu Rafi` radhi-yallaahu ‘anhu bahwasanya Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam pernah menggilir isteri-isterinya dalam satu malam. Beliau mandi di rumah fulanah dan rumah fulanah. Abu Rafi` berkata, “Wahai Rasulullah, mengapa tidak dengan sekali mandi saja?” Beliau menjawab.

"Ini lebih bersih, lebih baik dan lebih suci.” [10]

• Seorang suami dibolehkan jima’ (mencampuri) isterinya kapan waktu saja yang ia kehendaki; pagi, siang, atau malam. Bahkan, apabila seorang suami melihat wanita yang mengagumkannya, hendaknya ia mendatangi isterinya. Hal ini berdasarkan riwayat bahwasanya Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam melihat wanita yang mengagumkan beliau. Kemudian beliau mendatangi isterinya -yaitu Zainab radhiyallaahu ‘anha- yang sedang membuat adonan roti. Lalu beliau melakukan hajatnya (berjima’ dengan isterinya). Kemu-dian beliau bersabda,


"Sesungguhnya wanita itu menghadap dalam rupa syaitan dan membelakangi dalam rupa syaitan. [11] Maka, apabila seseorang dari kalian melihat seorang wanita (yang mengagumkan), hendaklah ia mendatangi isterinya. Karena yang demikian itu dapat menolak apa yang ada di dalam hatinya.” [12]

Imam an-Nawawi rahimahullaah berkata : “ Dianjurkan bagi siapa yang melihat wanita hingga syahwatnya tergerak agar segera mendatangi isterinya - atau budak perempuan yang dimilikinya -kemudian menggaulinya untuk meredakan syahwatnya juga agar jiwanya menjadi tenang.” [13]

Akan tetapi, ketahuilah saudara yang budiman, bahwasanya menahan pandangan itu wajib hukumnya, karena hadits tersebut berkenaan dan berlaku untuk pandangan secara tiba-tiba.

Allah Ta’ala berfirman:

"“Katakanlah kepada laki-laki yang beriman, agar mereka menjaga pandangannya, dan memelihara kemaluannya; yang demikian itu lebih suci bagi mereka. Sungguh, Allah Maha Mengetahui apa yang mereka perbuat” .[An-Nuur : 30]

Dari Abu Buraidah, dari ayahnya radhiyallaahu ‘anhu, ia berkata, “Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam ber-sabda kepada ‘Ali.

"Wahai ‘Ali, janganlah engkau mengikuti satu pandangan pandangan lainnya karena yang pertama untukmu dan yang kedua bukan untukmu”. [14]

• Haram menyetubuhi isteri pada duburnya dan haram menyetubuhi isteri ketika ia sedang haidh/ nifas.

Hal ini berdasarkan firman Allah Ta’ala:

"Artinya : Dan mereka menanyakan kepadamu (Muhammad) tentang haidh. Katakanlah, ‘Itu adalah sesuatu yang kotor.’ Karena itu jauhilah [15] isteri pada waktu haidh; dan janganlah kamu dekati sebelum mereka suci. Apabila mereka telah suci, campurilah mereka sesuai dengan (ketentuan) yang diperintahkan Allah kepadamu. Sungguh, Allah menyukai orang yang bertaubat dan mensucikan diri.” [Al-Baqarah : 222]

Juga sabda Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam:

"Barangsiapa yang menggauli isterinya yang sedang haidh, atau menggaulinya pada duburnya, atau mendatangi dukun, maka ia telah kafir terhadap ajaran yang telah diturunkan kepada Muhammad shallallaahu ‘alaihi wa sallam.” [16]

Juga sabda beliau shallallaahu ‘alaihi wa sallam:



"Dilaknat orang yang menyetubuhi isterinya pada duburnya.” [17]

• Kaffarat bagi suami yang menggauli isterinya yang sedang haidh.
Syaikh al-Albani rahimahullaah berkata, “Barangsiapa yang dikalahkan oleh hawa nafsunya lalu menyetubuhi isterinya yang sedang haidh sebelum suci dari haidhnya, maka ia harus bershadaqah dengan setengah pound emas Inggris, kurang lebihnya atau seperempatnya. Hal ini berdasarkan hadits Ibnu ‘Abbas radhiyallaahu ‘anhu dari Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam tentang orang yang menggauli isterinya yang sedang haidh. Lalu Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda.


"Hendaklah ia bershadaqah dengan satu dinar atau setengah dinar.’”[18]

• Apabila seorang suami ingin bercumbu dengan isterinya yang sedang haidh, ia boleh bercumbu dengannya selain pada kemaluannya. Hal ini berdasarkan sabda Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam.

"Lakukanlah apa saja kecuali nikah (jima`/ bersetubuh).” [19]

• Apabila suami atau isteri ingin makan atau tidur setelah jima’ (bercampur), hendaklah ia mencuci kemaluannya dan berwudhu` terlebih dahulu, serta mencuci kedua tangannya. Hal ini berdasarkan hadits dari ‘Aisyah radhiyallaahu ‘anha bahwasanya Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

“Apabila beliau hendak tidur dalam keadaan junub, maka beliau berwudhu` seperti wudhu` untuk shalat. Dan apabila beliau hendak makan atau minum dalam keadaan junub, maka beliau mencuci kedua tangannya kemudian beliau makan dan minum.” [20]

Dari ‘Aisyah radhiyallaahu ‘anha, ia berkata,

"Apabila Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam hendak tidur dalam keadaan junub, beliau mencuci kemaluannya dan berwudhu’ (seperti wudhu`) untuk shalat.” [21]

• Sebaiknya tidak bersenggama dalam keadaan sangat lapar atau dalam keadaan sangat kenyang, karena dapat membahayakan kesehatan.

• Suami isteri dibolehkan mandi bersama dalam satu tempat, dan suami isteri dibolehkan saling melihat aurat masing-masing.

Adapun riwayat dari ‘Aisyah yang mengatakan bahwa ‘Aisyah tidak pernah melihat aurat Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam adalah riwayat yang bathil, karena di dalam sanadnya ada seorang pendusta. [22]

• Haram hukumnya menyebarkan rahasia rumah tangga dan hubungan suami isteri.

Setiap suami maupun isteri dilarang menyebarkan rahasia rumah tangga dan rahasia ranjang mereka. Hal ini dilarang oleh Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam. Bahkan, orang yang menyebarkan rahasia hubungan suami isteri adalah orang yang paling jelek kedudukannya di sisi Allah.
Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

"Sesungguhnya manusia yang paling jelek kedudukannya pada hari Kiamat adalah laki-laki yang bersenggama dengan isterinya dan wanita yang bersenggama dengan suaminya kemudian ia menyebarkan rahasia isterinya.” [23]

Dalam hadits lain yang shahih, disebutkan bahwa Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Jangan kalian lakukan (menceritakan hubungan suami isteri). Perumpamaannya seperti syaitan laki-laki yang berjumpa dengan syaitan perempuan di jalan lalu ia menyetubuhinya (di tengah jalan) dilihat oleh orang banyak…” [24]

Syaikh Muhammad bin Shalih al-‘Utsaimin rahimahullaah berkata, “Apa yang dilakukan sebagian wanita berupa membeberkan maslah rumah tangga dan kehidupan suami isteri kepada karib kerabat atau kawan adalah perkara yang diharamkan. Tidak halal seorang isteri menyebarkan rahasia rumah tangga atau keadaannya bersama suaminya kepada seseorang.
Allah Ta’ala berfirman:

"Artinya : “Maka perempuan-perempuan yang shalih adalah mereka yang taat (kepada Allah) dan menjaga diri ketika (suaminya) tidak ada, karena Allah telah menjaga (mereka).” [An-Nisaa` : 34]

Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam mengabarkan bahwa manusia yang paling buruk kedudukannya di sisi Allah pada hari Kiamat adalah laki-laki yang bersenggama dengan isterinya dan wanita yang bersenggama dengan suaminya, kemudian ia menyebarkan rahasia pasangannya". [25]

[Disalin dari buku Bingkisan Istimewa Menuju Keluarga Sakinah, Penulis Yazid bin Abdul Qadir Jawas, Penerbit Putaka A-Taqwa Bogor - Jawa Barat, Cet Ke II Dzul Qa`dah 1427H/Desember 2006]
__________
Foote Note
[1]. Hadits shahih: Diriwayatkan oleh Abu Dawud (no. 2160), Ibnu Majah (no. 1918), al-Hakim (II/185) dan ia menshahihkannya, juga al-Baihaqi (VII/148), dari ‘Abdullah bin ‘Amr radhiyallaahu ‘anhuma. Lihat Adabuz Zifaf (hal. 92-93)
[2]. Diriwayatkan oleh Ibnu Abi Syaibah dalam al-Mushannaf (X/159, no. 30230 dan ‘Abdurrazzaq dalam al-Mushannaf (VI/191-192). Lihat Adabuz Zifaf fis Sunnah al-Muthahharah (hal. 94-97), cet. Darus Salam, th. 1423 H.
[3]. Diriwayatkan oleh ‘Abdurrazzaq dalam al-Mushannaf (VI/191, no. 10460, 10461).
[4]. Hadits shahih: Diriwayatkan oleh Ahmad (VI/438, 452, 453, 458). Lihat Adabuz Zifaf fis Sunnah al-Muthahharah (hal. 91-92), cet. Darus Salam, th. 1423 H.
[5]. Hadits shahih: Diriwayatkan oleh al-Bukhari (no. 141, 3271, 3283, 5165), Muslim (no. 1434), Abu Dawud (no. 2161), at-Tirmidzi (no. 1092), ad-Darimi (II/145), Ibnu Majah (no. 1919), an-Nasa-i dalam ‘Isyratun Nisaa` (no. 144, 145), Ahmad (I/216, 217, 220, 243, 283, 286) dan lainnya, dari ‘Abdullah bin ‘Abbas radhiyallaahu ‘anhuma.
[6]. Pelana adalah kata kiasan untuk isteri. Yang dimaksud ‘Umar bin al-Khaththab adalah menyetubuhi isteri pada kemaluannya tetapi dari arah belakang. Hal ini karena menurut kebiasaan, suami yang menyetubuhi isterinya berada di atas, yaitu menunggangi isterinya dari arah depan. Jadi, karena ‘Umar menunggangi isterinya dari arah belakang, maka dia menggunakan kiasan “membalik pelana”. (Lihat an-Nihayah fii Ghariibil Hadiits (II/209))
[7]. Hadits hasan: Diriwayatkan oleh Ahmad (I/297), an-Nasa-i dalam ‘Isyratun Nisaa` (no. 91) dan dalam Tafsiir an-Nasa-i (I/256, no. 60), at-Tirmidzi (no. 2980), Ibnu Hibban (no. 1721-al-Mawarid) dan (no. 4190-Ta’liiqatul Hisaan ‘ala Shahiih Ibni Hibban), ath-Thabrani dalam Mu’jamul Kabir (no. 12317) dan al-Baihaqi (VII/198). At-Tirmidzi berkata, “Hadits ini hasan.” Hadits ini dishahihkan oleh al-Hafizh Ibnu Hajar dalam Fat-hul Baari (VIII/291).
[8]. Hadits shahih: Diriwayatkan oleh ath-Thahawi dalam Syarah Ma’anil Aatsaar (III/41) dan al-Baihaqi (VII/195). Asalnya hadits ini diriwayatkan oleh Imam al-Bukhari (no. 4528), Muslim (no. 1435) dan lainnya, dari Jabir bin ‘Abdillah radhiyallaahu ‘anhuma. Lihat al-Insyirah fii Adabin Nikah (hal. 48) oleh Abu Ishaq al-Huwaini.
[9]. Hadits shahih: Diriwayatkan oleh Muslim (308 (27)) dan Ahmad (III/28), dari Shahabat Abu Sa’id al-Khudri radhiyallaahu ‘anhu.
[10]. Hadits hasan: Diriwayatkan oleh Abu Dawud (no. 219), an-Nasa-i dalam Isyratun Nisaa` (no. 149), dan yang lainnya. Lihat Shahih Sunan Abi Dawud (no. 216) dan Adabuz Zifaf (hal. 107-108).
[11]. Maksudnya isyarat dalam mengajak kepada hawa nafsu.
[12]. Hadits shahih: Diriwayatkan oleh Muslim (no. 1403), at-Tirmidzi (no. 1158), Adu Dawud (no. 2151), al-Baihaqi (VII/90), Ahmad (III/330, 341, 348, 395) dan lafazh ini miliknya, dari Shahabat Jabir bin ‘Abdillah radhiyallaahu ‘anhuma. Lihat Silsilah ash-Shahiihah (I/470-471).
[13]. Syarah Shahiih Muslim (IX/178).
[14]. Hadits hasan: Diriwayatkan oleh at-Tirmidzi (no. 2777) dan Abu Dawud (no. 2149).
[15]. Jangan bercampur dengan isteri pada waktu haidh.
[16]. Hadits shahih: Diriwayatkan oleh Abu Dawud (no. 3904), at-Tirmidzi (no. 135), Ibnu Majah (no. 639), ad-Darimi (I/259), Ahmad (II/408, 476), al-Baihaqi (VII/198), an-Nasa-i dalam ‘Isyratun Nisaa` (no. 130, 131), dari Sahabat Abu Hurairah radhiyallaahu ‘anhu.
[17]. Hadits hasan: Diriwayatkan oleh Ibnu Adi dari ‘Uqbah bin ‘Amr dan dikuatkan dengan hadits Abu Hurairah yang diriwayatkan oleh Abu Dawud (no. 2162) dan Ahmad (II/444 dan 479). Lihat Adaabuz Zifaf fis Sunnah al-Muthahharah (hal. 105).
[18]. Hadits shahih: Diriwayatkan oleh Abu Dawud (no. 264), an-Nasa-i (I/153), at-Tirmidzi (no. 136), Ibnu Majah (no. 640), Ahmad (I/172), dishahihkan oleh al-Hakim (I/172) dan disetujui oleh Imam adz-Dzahabi. Lihat Adabuz Zifaf (hal. 122)
[19]. Hadits shahih: Diriwayatkan oleh Muslim (no. 302), Abu Dawud (no. 257), dari Shahabat Anas bin Malik radhiyallaahu ‘anhu. Lihat Adabuz Zifaf (hal. 123).
[20]. Diriwayatkan oleh Abu Dawud (no. 222, 223), an-Nasa-i (I/139), Ibnu Majah (no. 584, 593) dan Ahmad (VI/102-103, dari ‘Aisyah radhiyallaahu ‘anha. Lihat Silsilah ash-Shahiihah (no. 390) dan Shahiihul Jaami’ (no. 4659).
[21]. Hadits shahih: Diriwayatkan oleh al-Bukhari (no. 288), Muslim (no. 306 (25)), Abu Dawud (no. 221), an-Nasa-i (I/140). Lihat Shahiihul Jaami’ (no. 4660).
[22]. Lihat Adabuz Zifaf hal. 109.
[23]. Diriwayatkan oleh Ibnu Abi Syaibah (no. 17732), Muslim (no. 1437), Abu Dawud (no. 4870), Ahmad (III/69) dan lainnya. Hadits ini ada kelemahannya karena dalam sanadnya ada seorang rawi yang lemah bernama ‘Umar bin Hamzah al-‘Amry. Rawi ini dilemahkan oleh Yahya bin Ma’in dan an-Nasa-i. Imam Ahmad berkata tentangnya, “Hadits-haditsnya munkar.” Lihat kitab Mizanul I’tidal (III/192), juga Adabuz Zifaf (hal. 142). Makna hadits ini semakna dengan hadits-hadits lain yang shahih yang melarang menceritakan rahasia hubungan suami isteri.
[24]. Diriwayatkan oleh Ahmad (VI/456-457).
[25]. Fataawaa al-Islaamiyyah (III/211-212).
 
Dikutip dari : Bayu Blog

Minggu, 13 Februari 2011

Beda Manusia dengan Binatang

Oleh Drs Abdul Hakim MPd I
Guru SMA Muhammadiyah 4 Surabaya

Paling tidak ada sepuluh perbedaan prinsip antara manusia dengan binatang. Pertama, manusia makhluk paling sempurna. Selain fisik, manusia memiliki keunggulan akal. Manusia memiliki akal kreatif, inovatif dan konstruktif sedang binatang tidak. Binatang tidak dapat menggunakan otaknya untuk berfikir atau belajar dan menangkap kebenaran laiknya manusia.
Kedua, manusia harus belajar. Allah menganugerahkan hati dan akal untuk belajar. Dengan belajar manusia dapat mengembangkan ilmu pengetahuan serta mengambil hikmah dalam berbagai peristiwa kehidupan. Manusialah yang harus menuntut ilmu untuk melaksanakan berbagai tugas kehidupan. Malalui proses belajar, manusia dapat memajukan kehidupannya, dari primitive menuju kehidupan beradab dan berbudaya.
Ketiga, manusia adalah Abdullah. Tugas utama manusia adalah untuk mengabdi atau menjadi hamba-Nya dengan penuh tunduk dan taat sepenuhnya. Inilah kehendak Allah ketika menciptakan jin dan manusia. Ibadah adalah tugas utama manusia. Baik, ibadah hablun minallah maupun ibadah hablun manannas. Kepada-Nya seorang hamba berikrar,”Iyyaka na’budu wa iyyaka nasta’in!”
Keempat, manusia adalah khalifah. Khalifah artinya wakil Allah di bumi. Khafifah juga berarti pemimpin. Tugas sebagai khafifah adalah tugas berat namun mulia. Sebagai khafifah, manusia mengemban amanah memakmurkan bumi, menciptakan perdamaian, ketrentraman, dan kesejahteraan hidup. Sebagai khafifah, Allah menciptakan manusia setara. Hanya ketakwaan yang membedakan dari lainnya.
Kelima, manusia adalah makhluk labil. Selain, memiliki akal, manusia memiliki nafsu. Dengan akal manusia bisa melakukan perbuatan terpuji dan mulia. Tetapi dengan nafsu, manusia bisa berbuat anarki, merusak dan merugikan kehidupan. Dengan hidayah manusia bisa berbuat mulia. Tanpa hidayah, manusia hanya jadi budak nafsu. Alqur’an menyebut ada yang menjadikan nafsu sebagai Tuhannya.
Keenam, manusia dicipta untuk hidup di dua alam: dunia dan akherat. Di dunia manusia akan hidup sebentar. Dunia adalah lading amal. Akherat lebih kekal dan lebih baik. Bila baik amal dunianya, insya Allah baik akheratnya, Syurgalah tempatnya. Bila buruk dunianya, buruk pulalah akhirnya. Nerakalah ganjarannya.
Ketujuh, amal manusia dihitung. Perbuatan binatang tidak dihitung. Sekecil apa pun kebaikan manusia, Allah akan memberikan pahala. Demikian pula sekecil apa pun keburukannya, Allah akan memberikan sanksi. Takl satupun yang dirugikan. Allah Maha Adil, Maha Pengasih, lagi Maha Penyayang.
Kedelapan, manusia harus bekerja. Allah menganugrahkan organ sempurna agar manusia bekerja dan berkarya. Dengan bekerja manusia dapat memenuhi kebutuhan hidup dan memenuhi kewajiban social dengan penuh tanggung jawab. Bekerja adalah salah satu pintu kemuliaan manusia.
Kesembilan, manusia makhluk beragama. Dengan agama manusia menemukan dan mengabdi kepada Tuhan dengan benar. Dengan agama hidip manusia menjadi bermakna. Dengan agama, manusia yakin kepada Nabi dan Rasul-Nya, serta adanya Hari Akhir. Tentu hanya Islam agama yang dapat menjelaskan dan meyakinkan itu semua. Islam agama yang sesuai dengan fitrah manusia.
Kesepuluh, manusia makhluk berbudaya. Manusia adalah makhluk kreatif, inovatif dan konstruktif yang mampu membangun pereradaban. Sejarah mencatat peradaban manusia sebagai kerya gemilang. Peradaban adalah mozaik budaya manusia yang dibangun berkat kecerdasan manusia. Jadi, sungguh berbeda memang manusia dengan binatang. Meskipun demikian, Al-Qur’an menyebutkan tidak sedikit manusia bergaya seperti binatang, bahkan lebih buruk lagi dari itu. Mereka tidak dapat membangun sepuluh keunggulan yang mampu diraih oleh setiap manusia.
(Sumber: Lazismu Edisi 15, Pebruari 2009).

HAWA NAFSU, Sumber Kesesatan

Penyebab hawa nafsu :
1. Apa yg mnjadi keinginannya,ia kerjakan
2. Ketika orang itu menginginkan sesuatu, ia segera mengerjaknnya sedangkan ketaqwaannya kepada Allah SWT tidak dapat menghalangi keinginnannya.
3. Mereka tinggalkan petunjuk Allah SWT, karena mengikuti hawa nafsunya.
4. Orang kafir yg menjadkan agamanya selain agama Allah SWT dan petunjuk-Nya.
5. Orang yg d takukkan oleh kehendak jiwanya, seolah-plah kehendak jiwa itu tuhannya.
6. Orang yg hanya mengandalkan pemikirannya belaka.
7. Orang yg menilai baik atas sesuatu tanpa dalil syar’I, itulah penyembah hawa nafsu.
8. Orang munafik, tidaklah ia berkehendak melainkan ia kerjakan
9. Orang yg taat kepada setan ketika memeritah maksiat.
10. Orang musyrik dan dukun atau paranormal yg bekerja sama dengan jin.
11. Orang yg menyenangi atau membenci sesuatu bukan karena Allah SWT, itulah penyembah hawa nafsu.

Hukum mengikuti hawa nafsu
Mengikuti hawa nafsu hukumnya haram dan sebagian besar tergolong perbuatan syirik besar sbagaimana keterangan surat Al-jatsiyah: 23.
Penyebab mengikuti hawa nafsu:
1. Karena tergolong orang jahil (Q.S. al-Jatsiyah: 18)
2. Karena hawa nafsu, mendustakan wahyu (Q.S. al- An’am; 150)
3. Sesat dan menyesatkan (Q.S. al- Ma’idah : 77)
4. Mengurangi kesempurnaan iman , tidaklah (sempurna) iman salah satu diantara kamu sehingga hawanya(keinginannya) mengikuti apa yg telah di datangkan kepada-Ku.

Bahaya mengikuti hawa nafsu :
1. Menyesatkan manusia dari jalan yg benar (Q.S. Shad: 26)
2. Sulit menerima nasihat (Q.S. al-A’raf : 176)
3. Tidak mendapat pertolongan ( Q.S. al-Furqan: 43)
4. Sesat dan menyesatkan (Q.S. al – Qashas: 50)

Cara menjauhi hawa nafsu :
1. Menuntut ilmu Syar’i
2. Bertanya kepada ulama (Q.S. al- Anbiya:7)
3. Menjauhi orang yg lalai dengan hukum Allah (Q.S. al-Kahfi: 28)
4. Membersihkan jiwa dengan amal shalih (Q.S. an-Nazi’at:40-41)
5. Menjauhi ulama sesat
6. Menjauhi keraguan
7. Menjauhi umumnya orang (Q.S. Saba: 13, al-An’am: 116)

“Maka pernahkah kamu melihat orang yg mnjdikan hawa nafsunya sebagai Tuhannya dan Allah membiarkannya berdasarkan ilmu-Nya dan Allah telah mengunci mati pendengaran dan hatinya dan meletakkan tutupan atas penglihatannya? Maka siapakah yang memberinya petunjuk sesudah Allah (membiarkannya sesat). Maka mengapa kamu tidak mengambil pelajaran?” (Q.S. al-Jatsiyah :23)

Sesungguhnya orang-orang yg beriman akan selalu menjaga hawa nafsu dan kehormatannya dalam rangka takut dan mengharap ridha Allah SWT.
Wallahu’alam bissowab
 
Dikutip dari : Motivasi dan Inspirasi

Rabu, 09 Februari 2011

Semoga Bisa mewnjadi Pelajaran untuk kita

PENAMPAKAN HANTU DI SUKABUMI JAWA BARAT

Tangisan Rasulullah, Sahabat dan orang2 shalih

Dikisahkan pada suatu hari Rasulullah sedang duduk bersama para sahabat , kemudian beliau meminta salah seorang sahabat Abdillah bin Mas’ud membaca surat An Nisa, hingga sampai surat an Nisa ayat 41 :

” Maka bagaimanakah (halnya orang kafir nanti), apabila Kami mendatangkan seseorang saksi (rasul) dari tiap-tiap umat dan Kami mendatangkan kamu (Muhammad) sebagai saksi atas mereka itu (sebagai umatmu).”

Beliau meminta Abdillah bin Mas’ud menghentikan bacaannya , para sahabat melihat airmata Rasulullah berlinang, beliau menangis. Aisyah ra menceritakan bahwa ia sering melihat Rasulullah menangis ketika mengerjakan sholat malam, beliau menangis sepanjang sholatnya . Mathrab bin Abdillah menceritakan bahwa ayahnya sering mendapati Rasulullah menangis dalam sholat, dari dada beliau terdengar suara bergemuruh bagai air yang mendidih didalam ketel.

Abdullah bin Syadad menceritakan bahwa ia mendengar suara Umar bin Khatab menangis dalam sholat ketika ia membaca surat Yusuf ayat 86:

” Yakub menjawab: “Sesungguhnya hanyalah kepada Allah aku mengadukan kesusahan dan kesedihanku, dan aku mengetahui dari Allah apa yang kamu tiada mengetahuinya.”

Ketika Rasulullah sakit pada akhir hayatnya , beliau meminta Abubakar Sidik untuk menggantikan beliau menjadi Imam sholat, Aisyah mengingatkan ” Wahai Rasulullah Abubakar itu orang yang lemah (peka perasaannya) jika membaca Qur’an ia tidak bisa menahan tangisnya” . Dalam riwayat lain dikatakan:” Abubakar itu jika menggantikanmu jadi imam tidak terdengar bacaannya oleh orang yang dibelakang karena tangisnya”

Syu’bah bin Sa’ad bercerita bahwa pada satu ketika makan malam telah dihidangkan dihadapan Abdurahman bin Auf setelah siang harinya ia berpuasa. Ia membaca surat Al Muzzammil ayat 12-13 :

12- Karena sesungguhnya pada sisi Kami ada belenggu-belenggu yang berat dan neraka yang bernyala-nyala,
13- dan makanan yang menyumbat di kerongkongan dan azab yang pedih.
 
Abdurahman bian Auf menangis ketika membaca ayat itu , dan terus menangis hingga tidak jadi makan malam.

Dikisahkan pada suatu malam Umar bin Abdul Aziz salah seorang khalifah dari bani Umayyah sedang sholat malam, ia membaca surat Al Mukmin ayat 71-72:

71- ketika belenggu dan rantai dipasang di leher mereka, seraya mereka diseret,
 
72- ke dalam air yang sangat panas, kemudian mereka dibakar dalam api,

Ia mengulang ulang ayat tersebut dalam shalatnya dan terus menangis terisak isak.


 
Keutamaan menangis karena Allah:

Ibnu Abbas berkata , saya mendengar Rasulullah berkata: ” Dua mata yang tidak bisa disentuh api Neraka adalah mata yang menangis dikeheningan malam karena takut kepada Allah, dan mata yang berjaga dimalam hari karena membela agama Allah

(HR Tirmidzi dan Abu Na’im)


Dikutip dari : Komitmen Mukmin sejati

KEHEBATAN DOA


Do'a yang dikabulkan

Ada tiga do'a yang dikabulkan dengan tidak ada keraguan lagi;
  1. Do'a orang tua untuk anaknya
  2. Do'a orang musafir
  3. Do'a orang yang dianiaya

Do'a orang teraniaya
Diriwayatkan dari Nabi Saw. "Takutlah kamu kepada do'a orang yang dianiaya, karena sesungguhnya tidak ada penghalang antara do'a orang yang dianiaya dengan Allah Swt.

Sebab do’a tidak diterima

Ibrahim bin Adham ditanya, kenapa kami berdo'a tapi do'a kami belum diijabah oleh Allah Swt. Beliau menjawab ada 5 hal yang menyebabkan hal itu terjadi;
  1. Kamu mengenal Allah namun tidak melaksanakan kewajiban kepada Nya.
  2. Kamu membaca Al Qur'an namun tidak mengamalkan isinya.
  3. Kamu berkata 'cinta kepada Rasulullah' namun meninggalkan sunnahnya.
  4. Kamu berkata 'mengutuk syetan' namun mengikuti langkahnya.
  5. Kamu melupakan aibmu namun menyibukkan diri dengan aib orang lain.

Kekuatan Do’a

  • Do'a adalah sebab dan factor yang paling kuat guna menolak segala sesuatu yang tidak diinginkan atau tercapainya tujuan dan cita-cita.
  • Akan tetapi terkadang do'a itu tidak ada hasilnya, mungkin karena orang yang berdo'a tidak bersungguh-sungguh sehingga do'anya tidak diterima oleh Allah Swt, sebab ia masih mengerjakan perbuatan yang dimurkai Allah.
  • Bisa juga disebabkan lemahnya jiwa orang yang berdo'a dan kurang menghadapkan do'anya kepada Allah Swt, serta kurang memusatkan do'anya kepada Allah sewaktu berdo'a. atau mungkin juga adanya penghalang untuk dikabulkan sebab dari memakan makanan yang haram atau perbuatan aniaya atau kotoran dosa yang menutupi hatinya, sehingga ia selalu dikuasai  oleh kelengahan, kelalaian dan hawa nafsu.
Rasulullah saw bersabda,
  • "Ketahuilah olehmu bahwa sesungguhnya Allah tidak akan mengabulkan do'a orang yang hatinya lalai".

Allah Menjawab do’a Mukmin

Dan apabila hamba-hamba-Ku bertanya kepadamu tentang aku, Maka (jawablah), bahwasanya Aku adalah dekat. Aku mengabulkan permohonan orang yang berdoa apabila ia memohon kepada-Ku, Maka hendaklah mereka itu memenuhi (segala perintah-Ku) dan hendaklah mereka beriman kepada-Ku, agar mereka selalu berada dalam kebenaran. (Al-Baqarah:186).

Dan Tuhanmu berfirman: "Berdoalah kepada-Ku, niscaya akan Kuperkenankan bagimu. Sesungguhnya orang-orang yang menyombongkan diri dari menyembah-Ku[1326] akan masuk neraka Jahannam dalam keadaan hina dina". (Al-Mu’min:60).
[1326]  yang dimaksud dengan menyembah-Ku di sini ialah berdoa kepada-Ku.

Dikutp dari > Gubuk Abdi

Iman dan Amal Saleh


Ketenangan hati, kebahagiaannya dan hilangnya kegundahan adalah keinginan setiap orang. Dengan itulah kehidupan yang baik, perasaan senang dan tenteram dapat dicapai. Untuk mendapatkan itu semua ada beberapa faktor yang harus dipenuhi: ada faktor diniyah (keagamaan), faktor alami, dan faktor amaliah (amal, pekerjaan).
Hanya orang-orang mu’min saja yang mampu memenuhi tiga faktor tersebut. Adapun selain orang-orang mu’min, maka, kalaupun dari satu segi, sebagian dari faktor-faktor tersebut dapat dicapai dengan jasa dan usaha para cendekiawan mereka; akan tetapi banyak segi-segi lain yang lebih bermanfaat, lebih kuat dan lebih baik -baik jangka pendek atau jangka panjang- yang tidak mampu mereka dapatkan
Faktor paling penting dan paling mendasar untuk menggapai bahagia adalah: Iman dan amal shalih. Alloh Subhanahu wa Ta’ala berfirman, yang artinya:
“Barangsiapa yang mengerjakan amal shalih, baik laki-laki maupun perempuan dalam keadaan beriman, maka sesungguh-nya akan Kami berikan kepadanya kehidupan yang baik dan sesungguhnya akan Kami beri balasan kepada mereka dengan pahala yang lebih baik dari apa yang telah mereka kerjakan.” (QS: An-Nahl: 97)
Dalam ayat ini Alloh Subhanahu wa Ta’ala memberitakan dan menjanjikan bagi orang yang dapat mengumpulkan antara iman dan amal shalih untuk mendapatkan kehidupan yang baik di dunia ini dan balasan yang baik pula di dunia dan akhirat.
Sebabnya sudah jelas, karena orang yang beriman kepada Alloh Subhanahu wa Ta’ala dengan iman yang benar yang dapat membuahkan amal shalih dan dapat memperbaiki kondisi hati, moral (tingkah lakunya), atau urusan keduniaan dan akhiratnya, berarti dia sudah mem-punyai pondasi dan dasar yang kuat untuk menghadapi segala kemungkinan. Kemungkinan baik yang mendatang-kan kebahagiaan dan kesenangan atau kemungkinan bu-ruk yang dapat mendatangkan kegoncangan, kesumpekan dan kesedihan.
Kebahagiaan dan kesenangan mereka sambut dengan menerimanya, mensyukurinya dan mempergunakannya untuk hal-hal yang bermanfaat. Dan bila mereka berhasil menerima dan mempergunakannya dengan cara semacam itu, maka akan timbullah sebagai buahnya –dari akumulasi suka cita dan keinginan untuk mempertahankan kebera-daan dan keberkahan nikmat tersebut serta harapan untuk memperoleh pahala syukur– hal-hal besar lainnya yang kebaikan dan keberkahannya melebihi kebahagiaan dan kesenangan yang pertama.
Begitu pula dengan cobaan, kemudharatan, kesempitan dan keruwetan. Yang mampu dia atasi dia pecahkan, yang hanya dapat dia minimalisasi dia lakukan dan yang tidak boleh tidak harus dia hadapi dia hadapi dengan kesabaran. Dan sebagai dampak dari akumulasi ‘kemampuan meng-hadang ujian plus percobaan dan kekuatan’ juga akumulasi dari ‘kesabaran plus pengharapan akan pahala’ maka mereka akan mendapatkan hal-hal besar lainnya yang dengan hal-hal tersebut semua ujian dan cobaan apapun tidak akan terasa bahkan akan berubah menjadi kese-nangan dan harapan-harapan baik serta keinginan untuk mendapatkan karunia dan pahala dari Alloh Subhanahu wa Ta’ala.
Seperti yang diungkapkan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam sebuah hadits shahih, beliau bersabda, yang artinya: “Sungguh luar biasa urusan seorang mu’min itu. Sesungguh-nya setiap urusannya (akan mendatangkan) kebaikan. Bila dia mendapatkan kesenangan, dia bersyukur dan (syukur) itu adalah kebaikan untuknya. Bila dia mendapatkan musibah, dia bersabar dan (sabar) itu adalah kebaikan untuknya. Hal itu tidak (diberikan) untuk siapa pun kecuali untuk seorang mu’min.” (HR: Muslim)
Dalam hadits ini Rasululloh shallallahu ‘alaihi wa sallam memberitahukan bahwa seorang mu’min akan dilipat-gandakan kebaikannya dan buah amal-amalnya dalam kondisi yang dia hadapi, dalam kondisi nikmat atau musibah.
Oleh karena itu, anda bisa mendapati dua orang yang mendapatkan ujian yang sama atau nikmat yang sama, tetapi ternyata, keduanya berbeda dalam cara mengha-dapinya. Hal itu kembali pada perbedaan keduanya dalam kualitas iman dan amal shalihnya.
Yang satu dapat menghadapi kondisi nikmat atau musibah dengan syukur dan sabar, sehingga dia merasa senang dan suka cita. Sementara kesumpekan, keruwetan, kegundahan, perasaan sempit dada dan kesulitan hidup juga akan hilang, dan akhirnya dia bisa mendapatkan kehidupan yang baik di dunia ini.
Adapun orang satunya lagi, dia sambut kondisi nikmat dengan keangkuhan, menolak kebenaran dengan kezha-liman, sehingga moral dan tingkah lakunya menjadi melenceng. Dia sambut kondisi nikmat itu seperti hewan, dengan penuh tamak dan loba. Walaupun demikian, hatinya tetap tidak merasa tenang bahkan terasa seperti dicabik-cabik dari segala penjuru. Dia khawatir kalau apa yang dia nikmati hilang, dia khawatir akan banyaknya tantangan-tantangan yang timbul menghadangnya, dia khawatir dan tidak tenang. Karena hawa nafsu itu tidak akan berhenti pada batas tertentu, tapi dia akan terus ingin mendapatkan yang lainnya lagi yang barangkali bisa dia raih, bisa juga tidak. Kalau berhasil diraih, kekhawatiran-kekhawatiran yang pertama tadi akan menghampirinya.
Dia juga akan sambut musibah yang menghadangnya dengan kegoncangan, kegundahan, rasa takut dan jengkel. Bila sudah demikian, jangan tanyakan lagi bagaimana dia akan ditimpa kesulitan hidup, ditimpa penyakit-penyakit saraf dan perasaan takut yang mengkhawatirkan. Karena dia saat itu tidak mengharapkan pahala dari Allah dan tidak punya kesabaran yang dapat menghibur dan membuat penderitaannya berkurang.
Hal di atas dapat kita saksikan sendiri dalam kenyataan. Bila anda renungi kondisi orang-orang sekarang ini, anda akan melihat bahwa perbedaan yang besar antara seorang mu’min yang bekerja dan bertindak dengan konsekwensi keimanannya dengan yang tidak demikian, yaitu bahwa agama itu sangat mendorong dan menganjurkan agar orang bersifat qona’ah (menerima) dengan rezeki Allah Subhanahu wa Ta’ala, karunia dan kemurahanNya yang bermacam ragam.
Seorang mu’min –bila ditimpa penyakit, kefakiran dan berbagai musibah yang dapat menimpa setiap orang– dengan keimanannya, juga dengan sifat qona’ah dan kerelaannya atas apa yang diberikan Allah kepadanya, dia akan tetap terlihat tenang. Hatinya tidak menuntut men-capai sesuatu yang tidak ditakdirkan baginya dan tidak melirik kepada orang yang berada di atasnya. Dan barangkali kebahagiaan, kesenangan dan ketenangannya melebihi orang yang berhasil meraih tuntutan-tuntutan duniawinya tetapi tidak qana’ah.
Sebagaimana anda juga dapat menyaksikan orang yang bertindak dan beramal tidak sesuai dengan konsekwensi keimanan, bila ditimpa sedikit kekurangan atau tidak ber-hasil meraih sebagian tuntutan duniawinya, dia merasa di puncak kesengsaraan dan kesusahan. Contoh lain, apabila terjadi hal yang menakutkan atau hal-hal yang mengganggu lainnya, anda akan lihat bahwa orang yang benar iman-nya, hatinya kuat, jiwanya tenang, dia mampu mengurus dan menjalani apa yang menimpanya dengan kemampuan pikiran, perkataan dan amalnya.
Semua itu akan memper-kuat dirinya bila berhadapan dengan gangguan atau musibah yang menimpanya. Kondisi semacam inilah yang dapat menenangkan manusia dan menguatkan hatinya.
Sebaliknya kondisi orang yang tidak mempunyai iman, bila terjadi suatu hal yang menakutkan, hatinya gundah, urat sarafnya menegang, pikirannya kacau, rasa takut dan khawatir masuk ke dalam dirinya. Berkumpullah pada diri-nya perasaan takut dari luar dengan kegoncangan batinnya yang sulit untuk diketahui hakikatnya.
Orang dengan tipe semacam itu –bila tidak didukung faktor-faktor alamiah dengan banyak latihan– akan kehilangan semangat dan stres. Sebab dia tidak mempunyai iman yang dapat mendorongnya bersikap sabar, khususnya dalam kondisi-kondisi tegang dan menyedihkan.
Orang baik dan orang jahat juga orang mu’min dan orang kafir, sama-sama berpotensi untuk belajar dan bisa berani. Juga sama-sama mempunyai potensi kejiwaan yang dapat melunakkan dan meringankan hal-hal yang menakut-kan. Hanya saja, seorang mu’min mempunyai keunggulan dengan imannya, kesabaran dan tawakkalnya kepada Allah serta harapannya untuk mendapatkan pahala dari Allah Subhanahu wa Ta’ala. Hal-hal inilah yang menambah rasa keberaniannya, memperingan beban takutnya juga me-ringankan musibah yang menimpanya. Seperti difirman-kan Alloh Subhanahu wa Ta’ala, yang artinya:
“Jika kamu menderita kesakitan, maka sesungguhnya mereka pun menderita kesakitan (pula) sebagaimana kamu menderita-nya, sedang kamu mengharap dari Allah apa yang tidak mereka harapkan.” (QS: An-Nisa’: 104)
Selain itu dia akan mendapatkan pertolongan Alloh Subhanahu wa Ta’ala dan ‘kebersamaanNya’. Dan hal itu dapat menghancurkan perasaan takutnya. Alloh Subhanahu wa Ta’ala berfirman, yang artinya: “Dan bersabarlah kamu, sesungguhnya Alloh bersama orang-orang yang sabar.” (QS: Al-Anfal: 46)
Termasuk di antara faktor-faktor yang dapat menghilangkan kesedihan, musibah dan kegoncangan hati adalah: Berbuat baik kepada makhluk, baik dengan per-kataan, perbuatan dan berbagai macam perbuatan baik lainnya. Alloh Subhanahu wa Ta’ala akan menolak kesedihan dan musibah dari orang shalih dan orang yang jahat sesuai dengan perbuatan baik yang dilakukan.
Hanya saja bagi seorang mu’min akan mendapatkan porsi yang lebih sempurna. Dan yang membedakan seorang mu’min dari yang lainnya, bahwa kebaikan yang dia lakukan didorong oleh keikhlasan dan harapan mendapatkan pahala dari Alloh Subhanahu wa Ta’ala. Dan hal itu memudahkan baginya mendapatkan kebaikan yang dia inginkan. Alloh Subhanahu wa Ta’ala juga akan menolak hal-hal yang tidak dia sukai karena berkah keikhlasan dan harapan mereka akan pahalaNya. Alloh Subhanahu wa Ta’ala berfirman, yang artinya: “Tidak ada kebaikan pada kebanyakan bisikan-bisikan mereka, kecuali bisikan-bisikan dari orang yang menyuruh (manusia) memberi sedekah, atau berbuat ma’ruf, atau mengadakan perdamaian di antara manusia. Dan barangsiapa yang berbuat demikian karena mencari keridhaan Allah, maka kelak Kami memberi kepadanya pahala yang besar.” (QS: An-Nisa’: 114)
Dalam ayat ini, Alloh Subhanahu wa Ta’ala menginformasikan bahwa hal-hal yang disebutkan tadi semuanya akan bernilai kebaikan bagi orang yang melakukannya. Dan sebuah kebaikan biasanya mendatangkan kebaikan serta menolak keburukan. Seorang mu’min yang hanya mengharapkan pahala Alloh Subhanahu wa Ta’ala akan mendapatkan balasan yang besar yang di antaranya adalah dalam bentuk hilangnya kesedihan, musibah, dan hal-hal yang mengganggu lainnya.
(Sumber Rujukan: MENGGAPAI KEHIDUPAN BAHAGIA, Oleh: SYAIKH ABDURRAHMAN BIN NASHIR AS-SA’DY).
Semoga bermanfaat salam dr kami Ptya Pembangunan dan Pengembangan Masjid AlIkhlas menjadi Masjid Akbar AlIkhlas KOta Tangerang Selatan.*

Di kutip dari : 
ISLAMIC CENTRE TANGSEL

Selasa, 08 Februari 2011

Larangan Meniup Minuman Panas

 

Seringkali kita melihat, seorang Ibu ketika menyuapi anaknya makanan yang masih panas, dia meniup makanannya lalu disuapkan ke anaknya. Bukan cuma itu, bahkan orang dewasa pun ketika minum teh atau kopi panas, sering kita lihat, dia meniup minuman panas itu lalu meminumnya. Benarkan cara demikian?
Cara demikian tidaklah dibenarkan dalam Islam, kita dilarang meniup makanan atau minuman.
Sebagaimana dalam Hadits Ibnu Abbas menuturkan “Bahwasanya Nabi Shallallaahu alaihi wa Salam melarang bernafas pada bejana minuman atau meniupnya”. (HR. At Turmudzi dan dishahihkan oleh Al-Albani).
Penjelasan secara ilmiahnya (bagi yang memerlukan bukti ilmiah) adalah sebagai berikut:
Apabila kita hembus napas pada minuman, kita akan mengeluarkan CO2 atau yang disebut dengan karbon dioksida, yang apabila bercampur dengan air H20, akan menjadi H2CO3, salah satu senyawa bersifat asam hampir sama dengan cuka, menyebabkan minuman itu menjadi bersifat asam, dan Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam menyuruh kita untuk minum seteguk demi seteguk, jangan langsung satu gelas sambil bernapas di dalam gelas, karena dimungkinkan ketika kita minum langsung 1 gelas dihabiskan kita bernafas di dalam gelas (seperti yang tertulis pada hadist diatas) yang akan menyebabkan reaksi kimia seperti di atas.
Namun teori ilmiah tersebut masih perlu dipertanyakan kebenarannya, dikarenakan:
  1. Reaksi antara CO2 dan H2O hanya terjadi pada suhu dan tekanan tinggi. CO2 dapat larut dalam air dalam tekanan tinggi, membentuk H2CO3. pada 25 derajat celcius, Kc = 1.70 x 10-3.
  2. Untuk mencapai keseimbangan, reaksi antara CO2 dan H2O membutuhkan katalisator. Kalau tidak ada katalisator, reaksi ini akan berjalan lambat.
  3. H2CO3 merupakan asam lemah
    Begitu kira- kira mengapa kita tidak boleh meniup minuman panas. 
    Diambil dari http://ervakurniawan.wordpress.com/2009/03/16/larangan-meniup-makanan-dan-minuman-panas/ dengan sedikit perubahan..
    Dikutip dari  - DAWAH MAKSUD HIDUP

Adab Perjalanan


1.    Shalat safar 2 rakaat
2.    Do`a memakai sandal / sepatu / kasut
اَللَّهُمَّ اِنِّى اَعُوْذُبِكَ مِنَ اْلاِبْلِسِ وَالْجُنُدِهِ
Artinya : “ Ya Allah aku berlindung kepada-Mu dari Iblis dan bala tentaranya. “
3.    Tidak memakai hiasan dan wangi-wangian
4.    Do`a keluar rumah :
بِسْمِ اللهِ تَوَكَّلْتُ عَلَى اللهِ لاَحَوْلَ وَلاَ قُوَّةَ اِلاَّ بِـاللهِ
5.    Saat naik kendaraan langkahkan kaki kanan denagan membaca : بِسْمِ اللهِ , setelah duduk bacalah اَلْحَمْدُ ِاللهِ , bila kendaraan mulai berjalan maka baca :
سُبْحَـانَ الَّذِى سَخَّرَ لَنَـا هَذَا وَمَـا كُنَّـا لَهُ مُقْرِنِيْنَ وَ اِنَّـا اِلَى رَبِّنَـا لَمُنْقَلِبُــوْنَ
6.    Jika perjalanan naik / tanjakan baca : اَللهُ اَكْبَـرُ
Jika perjalanan turun, baca : سُبْحَـانَ اللهُ
Jika perjalanan mendatar, baca : اَلْحَمْدُ ِللهِ
Jika jalan berliku-liku, baca : : لاَ حَوْلَ وَلاَقُوَّةَ اِلاَّ بِـاللهِ
Jika melewati jembatan, baca : اَلَّهُمَّ يَلِّمْ وَسَلِّمُ
Jika melihat masjid, baca اَللَّهُمَّ صَلِّى عَلَى مُحَمَّدٍ
Jika melihat tempat ibadah bukan Islam, baca : لاَاِلَهَ اِلاَّ اللهُ لاَمَعْبُدْ اِلاَّ اللهُ
Jika melihat wanita bukan muhrim, baca : اَللَّهُمَّ اِنِّى اَعُوْذُبِكَ مِنْ فِتْنَـةِ النِّسَـاءِ
Jika melihat kebesaran dunia, baca :
اَللَّهُمَّ اِنِّى اَعُوْذُبِكَ مِنْ فِتْنَةِ الدُّنْيَـا وَمِنْ عَذَابِ ا ْلاَخِرَةِ
7.    Jika melihat kampung, baca : اَللَّهُمَّ بَـارِكْ لَنَـا فِيْـهَـا
اَللَّهُمَّ ارْزُقْنَـا جَنَـاهَـا وَحَبِبْنَـا اِلَى اَهْلِهَـا وَحَبِبْ صَـالِحِى اَهْلِهَـا اِلَيْنَـا.
8.    Berhenti di tengah jalan atau penginapan, baca :
اَعُوْذُبِكَلِمَـاتِ اللهِ التَّـامَّـاتِ مِنْ سَرِّمَـا خَلَقَ
9.    Turun dari kendaraan, baca :
رَبِّ اَنْزِلْنِى مُنْزَلاً مُبَـارَكًا وَاَنَـا خَيْرُالْمُنْزِلِيْنَ
10.    Bila melihat kota, baca :
لاَاِلَهَ اِلاَّ اللهُ وَحْدَهُ لاَ شَرِيْكَ لَهُ, لَهُ الْمُلْكُ وَلَهُ الْحَمْدُ يُحْيِى وَيُمِيْتُ وَهُوَ حَيُّ دَاءِمٌ لاَ يَمُوْتُ
بِيَدِهِ الْخَيْرِ وَهُوَ عَلَى كُلِّ شَيْءٍ قَدِيْرٌ.
Fadhilahnya :
  • Dapat 1000 kebaikan
  • Hapuskan 1000 dosa dan kejahatan
  • Diangkat 1000 derajat dalam surga.
11.    Do`a naik kendaran laut, baca :
بِسْمِ اللهِ مَـجْرَهَـا وَمُرْسَهَـا اِنَّ رَبِّى لَغَفُوْرٌرَّحِيْـمٌ
وَمَـا قَدَرُوْالله َ حَقَّ قَدْرِهِ وَاْلاَرْضِ جَمِـيعًـا قَبْضَتُهُ يَوْمَ الْقِيَـامَـةِ وَالسَّمَوَتِ عَطْوِيَـاتِ بِيَمِنِهِ
سُبْحَـا نَـهُ وَتَعَـالَى عَمَّـا يُشْرِكُوْنَ
12.    Do`a masuk rumah : اَللَّهُمَّ اِنِّى اَسْـأَََلُكَ خَيْرَ الْمَوْلُجِ وَخَيْرَ الْمَخْرَجِ

Dikutp dari : 

Adab-adab Memasak


Assalamu'alaikum.
Mari kita belajar bersama-sama, berikut adalah adab-adab memasak yang ana ambil dari Mudzakarah Masturat yang telah di posting sebelumnya.

1.    Berwudhu dan shalat 2 rakaat.
2.    Baca do`a masuk dapur ( Al-Kahfi : 10 )
رَبَّنَـا اَتِنَـا مِنْ لَّدُنْـكَ رَحْمَـةً وَهَيِّءْلَنـَا مِنْ اَمْرِنـَا رَشَـدًا
 “ Ya Tuhan kami, berilah kami rahmat yang besar dari sisi-Mu dan persiapkan
petunjuk terhadap urusan kami.”
3.    Do`a mengambil beras ( An-Nahl : 96 ) :
مَـا عِنْدَكُـمْ يَـنْـفَدُّ وَمـَا عِـنْدَ اللهِ بَـاقٍ
“ Apa yang di sisimu akan lenyap, dan apa yang di sisi Allah adalah kekal.”
4.    Do`a mencuci beras :
اَلْحَمْـدُ ِاللهِ الَّـذِى اَطْعَمَنـَا خَيْرًا مِنـْه ُ
 “ Segala puji bagi Allah yang telah member
 kami makanan yang lebih baik darinya.”
5.    Do`a menaruh beras dalam periuk :
اَلْحَمْـدُ ِاللهِ الَّذِى اَطْعَمَنـاَ مِنْ جُـوْعٍ
“Segala puji bagi Allah yang telah memberikan makan setelah lapar.”
6.    Do`a menaruh air dalam beras :
اَللّذِيْنَ اَمَنُوْاا صْبِرُوْا وَصَـابِرُوْاوَرَابِطُوْا وَتَّـقُوااللهَ لَعَلَّـكُـمْ تُفْلِحُوْنَ
7.    Do`a mengaduk sayur ke arah kanan ( dengan arah jarum jam ) :
لَيْسَ لَهـاَ مِنْ دُوْنِ اللهِ كـاَ شِفَـةٌ
 “Tidak ada yang dapat menyatakan hari itu selain Allah.”
8.    Do`a memotong sayur / daging ( Al-Baqarah 71 ) :
فَذَ بَحُوْهـاَ وَمَـا كـاَدُوْا يَفْعَلُوْنَ 
9.    Do`a mencuci sayur :
لَيْسَ لَهـاَ مِنْ دُوْنِ اللهِ كـاَ شِـفَـةٌ
10.    Do`a menghaluskan bumbu : Surat Al-Kautsar 1 – 3 .
11.    Do`a membuka kekep :
اَللَّهُمَّ بـاَرِكْ لَنـاَ خَيْرًا مِنْـهُ

Niat amal dan sampaikan..
Subhanallahi wabihamdihi, subhanakallahhumma wa bihamdika asyhadu alla ilaha illa anta astagfiruka wa atubu ilaihi..
 
Dikutip dari :

Adab Mandi


1.    Masuk dengan memakai tutup kepala dan alas kaki serta mendahulukan kaki kiri dengan membaca :
اَللَّهُـمَّ اِنِّى اَعُوْذُ بِكَ مِنَ الْخُبُثِ وَالْخَبَـاءِثْ
2.    Menanggalkan pakaian sambil membaca do`a dalam hati :
بِسْـمِ اللهِ لاً اِلَـهَ اِلاَّهُـوَ
3.    Memakai basahan sebab dimanapun kita berada tidak lepas dari pandangan dan pengetahuan Allah swt.

Syarat sah mandi wajib ( menghilangkan hadats besar ) ada 2 :

1.    Niat ketika mengalirkan air ke seluruh tubuh dan niat itu dikhususkan pada hadats yang akan dihilangkan.
2.    Meratakan air ke seluruh tubuh dari ujung rambut hingga ujung kaki.

Adab – adab Mandi Wajib :

1.    Masuk kamar mandi dengan mendahulukan kaki kiri
2.    Hendaknya mencuci tangan dan bagian yang terkena kotoran ( kemaluan dan dubur )

3.    Setelah mencuci tangan dan kamaluan, maka bacalah Basmalah dalam hati lalu berwudhu seperti wudhu mau shalat tetapi kaki ditinggalkan mencucinya kemudian.
4.    Menyiram anggota badan bagian kanan 3x lalu anggota badan bagian kiri 3x.
5.    Membasuh kaki yang kanan 3x, lalu kaki kiri 3x
6.    Menghadap kiblat.
7.    Dianjurkan menutup tubuh dengan basahan selama mandi.
8.    Mengekalkan niat selama mandi.
9.    Jangan berlama-lama di kamar mandi.
10.    Setelah mandi baca do`a :

اَلْحَمْـدُ ِاللهِ الَّذِى جَعَلَ الْمَـاءَ طَهُوْرَا ز
11.    Cara mandi wajib :
  • Niat dan bersihkan najis terlebih dahulu.
  • Berwudhu, kaki tidak disiram, sebab diakhirkan.
  • Menyiram kepala 3x, bagian kanan 3x, bagian kiri 3x.
  • Menyiram seluruh badan sampai rata
  • Menyiram kaki
  • Bila akan shalat tidak perlu wudhu lagi
  • Bila dalam keadaan junub lalu tidur (sebelum mandi ) sebaiknya wudhu terlebih dahulu. ( H.R. Tirmidzi )
  • Disunnahkan berwudhu ketika hendak melakukan persetubuhan. (H.R. Abu Daud).
Dikutip dari : - DAWAH SARANA TARBIYAH UMAT

Adab Istinja'


  • Memakai tutup kepala agar syetan tidak meletakkan kotorannya di atas kepala.
  • Pastikan tidak membawa barang yang mengandung tulisan / lafadz Allah atau ayat al-Qur an.
  • Masuk dengan kaki kiri sambil baca do`anya.
  • Cincin di tangan kiri dilepas, sebab digunakan untuk membersihkan kotoran .
  • Bila sudah buang air kecil berdehem 3x ( untuk mengeluarkan air kencing yang tersisa di saluran kencing )
  • Cara duduk : Dengan bertenggong kaki kanan maju ke depan, telapak kaki kiri ditekuk, tangan kiri di pinggang sambil menekan, tangan kanan di atas lutut kanan dengan jari di atas kepala ( bila lupa pakai tutup kepala ) / memegang pundak kiri dan hidung ditutup / diletakkan pada lengan kanan.
  • Bila sedang tandas, jika dipanggil jangan menyahut, tapi berdehem / dengan isyarat suara.
  • Agar jangan bernyanyi, bersiul / sambil makan, jangan terlalu lama di dalam WC tanpa ada keperluan yang sebenarnya, sebab mudharat bagi kita dan wc adalah tempat berkumpulnya syetan.
  • Ibu jari dan telunjuk tidak dibolehkan untuk istinja`
  • Do`a bersihkan najis setelah istinja` :
اَللَّهُـمَّ طَهِّرْ قَلْبِى مِنَ النِّفَـاقِ وَحَسِّنْ فَرْجِ مِنَ الْفَوَاحِشْ ز
  • Jangan melihat najis sebab dapat mengurangi nur pada wajah dan akan mengurangi semangat dalam beribadah .
  • Keluar dengan kaki kanan dengan membaca do`a :
غُفْرَانَـكَ الْحَمْـدُ ِاللهِ الَّذِى اَذْهَبَ عَنِّ الْعَذَا وَعـَا فَنِى

Dikutip dari : - DAWAH SARANA TARBIYAH UMAT

Adab Bersiwak


  • Siwak menyucikan mulut, membuat Allah swt ridho kepada kita, mewangikan mulut dan mencerahkan pandangan. ( H.R. Thabrani, Baihaqi ).
  • Siwak adalah obat. (H.R. Baihaqi)
  • Siwak menfasihkan bicara. ( H.R. Ibnu `Adi )
  • Siwak berbeda dengan sikat gigi, siwak adalah kayu yang biasa digunakan untuk menggosok gigi.
  • Panjang siwak adalah sejengkal .
  • Memakai siwak disunnahkan setiap kali wudhu, bangun tidur, sebelum tidur, sesudah makan, sebelum makan, akan masuk rumah dan membaca Al-Qur an (H.R. Ibnu Majah )
  • Memulai bersiwak dengan membaca Basmalah (H.R. Ibnu Majah )
  • Membaca do`a bersiwak :
اَللَّهُـمَّ طَهِّرْ فَمِى وَنَوِّرْ قَلْبِى وَطَهِّرْ بَدَنِى وَحَرِّمْ جَسَدِى عَلَى النَّـَارِ
 “ Ya Allah sucikanlah mulutku, terangilah hatiku,
bersihkanlah badanku dan haramkanlah tubuhku dari api neraka.”
  • Miswak ( kayu siwak ) hendaknya tidak terlalu keras tidak terlalu lembu
  • Sebelum dan sesudah bersiwak, kayu siwak hendaklah dicuci, jika tidak maka syetan akan memakainya. (H.R. Ibnu Majah )
  • Siwak hendaklah disimpan berdiri / tegak dan jangan disimpan di atas tanah. Sa`id Bin Jabarra berkata :”Barangsiapa yang menyimpan siwak di atas tanah maka akan ditimpa penyakit gila.”
  • Jika miswak itu kering sebaiknya direndam dalam air terlebih dahulu
  • Dianjurkan agar tidak menggunakan miswak pada kedua ujungnya.
  • Niat bersiwak, Ya Allah aku bersiwak untuk membersihkan mulutku agar aku bisa mempergunakannya untuk berdzikir, membaca Al-Qur an dan membesarkan Nama-Mu.
  • Jika memang tidak ada kayu siwak, maka dibolehkan menggunakan ujung jari. (H.R. Abu Na`im )

Dikuti dari :

Adab-Adab Makan

Disusun ulang oleh: Ummu Aufa
Muroja’ah: Subhan Khadafi, Lc.
a. Memulai makan dengan mengucapkan Bismillah.
Berdasarkan hadits Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam:
“Apabila salah seorang diantara kalian hendak makan, maka ucapkanlah: ‘Bismilah.’ Dan jika ia lupa untuk mengucapkan Bismillah di awal makan, maka hendaklah ia mengucapkan ‘Bismillahi Awwalahu wa Aakhirahu (dengan menyebut nama Allah di awal dan diakhirnya).’” (HR. Daud Dishohihkan oleh Syaikh Al Albani dalam Shohih Ibnu Majah: 3264)

b. Hendaknya mengakhiri makan dengan pujian kepada Allah.
Sebagaimana sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam:
“Barangsiapa telah selesai makan hendaknya dia berdo’a: “Alhamdulillaahilladzi ath’amani hadza wa razaqqaniihi min ghairi haulin minni walaa quwwatin. Niscaya akan diampuni dosanya yang telah lalu.” (HR. Daud, Hadits Hasan)
Inilah lafadznya,

الْحَمْدُ لِلَّهِ الَّذِي أَطْعَمَنِي هَذَا وََرَزَقَنِيهِ مِنْ غَيْرِ حوْلٍ مِنِّي وَ لاَ قُوَّةٍ
“Segala puji bagi Allah yang telah memberi makan ini kepadaku dan yang telah memberi rizki kepadaku tanpa daya dan kekuatanku.”
Atau bisa pula dengan doa berikut,

الْحَمْدُ لِلَّهِ حَنْدًا كثِيراً طَيِّباً مُبَارَكاً فِيهِ غَيْرَ (مَكْفِيٍّ وَ لاَ) مُوَدَّعٍ وَ لاَ مُسْتَغْنَيً عَنْهُ رَبَّناَ

“Segala puji bagi Allah dengan puja-puji yang banyak dan penuh berkah, meski bukanlah puja-puji yang memadai dan mencukupi dan meski tidaklah dibutuhkan oleh Rabb kita.” (HR. Bukhari VI/214 dan Tirmidzi dengan lafalnya V/507)
c. Hendaknya makan dengan menggunakan tiga jari tangan kanan.
Hadits Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam:
“Sungguh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam makan dengan menggunakan tiga jari.” (HR. Muslim, HR. Daud)
d. Hendaknya menjilati jari jemarinya sebelum dicuci tangannya.
Sebagaimana sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam:
“Apabila salah seorang diantara kalian telah selesai makan maka janganlah ia mengusap tangannya hingga ia menjilatinya atau minta dijilati (oleh Isterinya, anaknya).” (HR. Bukhari Muslim)
e. Apabila ada sesuatu dari makanan kita terjatuh, maka hendaknya dibersihkan bagian yang kotornya kemudian memakannya.
Berdasarkan hadits Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam:
“Apabila ada sesuap makanan dari salah seorang diantara kalian terjatuh, maka hendaklah dia membersihkan bagiannya yang kotor, kemudian memakannya dan jangan meninggalkannya untuk syaitan.” (HR. Muslim, Abu Daud)
f. Hendaknya tidak meniup pada makanan yang masih panas dan tidak memakannya hingga menjadi lebih dingin, hal ini berlaku pula pada minuman. Apabila hendak bernafas maka lakukanlah di luar gelas, dan ketika minum hendaknya menjadikan tiga kali tegukan.
Sebagaimana hadits dari Ibnu Abbas Radhiyallahu’anhu:
“Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam telah melarang untuk menghirup udara di dalam gelas (ketika minum) dan meniup di dalamnya.” (HR. At Tirmidzi)
g. Hendaknya menghindarkan diri dari kenyang yang melampaui batas.
Berdasarkan sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam:
“Tidak ada bejana yang diisi oleh manusia yang lebih buruk dari perutnya, cukuplah baginya memakan beberapa suapan sekedar dapat menegakkan tulang punggungnya (memberikan tenaga), maka jika tidak mau, maka ia dapat memenuhi perutnya dengan sepertiga makanan, sepertiga minuman dan sepertiga lagi untuk bernafasnya.” (HR. Ahad, Ibnu Majah)
h. Makan memulai dengan yang letaknya terdekat kecuali bila macamnya berbeda maka boleh mengambil yang jauh.
Hadits Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam:
“Wahai anak muda, sebutkanlah Nama Allah (Bismillah), makanlah dengan tangan kananmu dan makanlah dari apa-apa yang dekat denganmu.” (HR. Bukhari Muslim)
i. Hendaknya memulai makan dan minuman dalam suatu jamuan makan dengan mendahulukan (mempersilakan mengambil makanan terlebih dahulu) orang-orang yang lebih tua umurnya atau yang lebih memiliki derajat keutamaan.
j. Ketika makan hendaknya tidak melihat teman yang lain agar tidak terkesan mengawasi.
k. Hendaknya tidak melakukan sesuatu yang dalam pandangan manusia dianggap menjijikkan.
l. Jika makan bersama orang miskin, maka hendaklah kita mendahulukan mereka.
Maroji’:
Disadur dari: Adab adab Harian Muslim, Ibnu Katsir

AKBP Drs. Waris Agono, Msi dan Usaha Dakwah

NAMA Kepala Satuan Brimobda Lampung AKBP Drs Waris Agono Msi mungkin agak terkesan unik…
Jarang orang bernama Waris, kebanyak adalah Aris. Demikian dengan Agono, kebanyakan Wagono. Namun, rupanya dalam nama ini terkandung arti tersendiri. “Kata orangtua saya artinya anak sederhana,” ungkap lelaki kelahiran Boyolali 28 April 1968 ini.
Selain nama yang unik, Kasat Brimob Lampung ini termasuk sedikit dari pejabat di kalangan Polri yang fasih berbicara masalah agama. Bahkan bila kita berbincang dengannya terasa ada nuansa agamis yang membuka cakrawala kita bahwa urusan manusia bukanlah masalah dunia, pangkat dan jabatan belaka.
Dan, nuansa agamis pula yang dikembangkannya dalam membina kesatuan, terutama anggota Brimob. “Tak kalah pentingnya adalah kita memberikan makanan ruhani kepada anggota, karena kalau makanan jasmani saja maka akan timbul ketidakstabilan,” ujar Waris.
Disadari akar dari tindakan penyimpangan negatif manusia adalah timbul karena per-soalan moral dan ethika. Makanya, pendidikan moral dan ethika menjadi sangat urgen sekarang ini.
Waris menjadi polisi sudah meru-pakan keinginan sejak masih duduk dibangku SD. Terpikat melihat penampilan pamannya yang gagah dengan uniform Akabri, tertanam dalam diri Waris ingin pula menjadi polisi. Makanya ketika orangtuanya menyuruh dirinya masuk SPG atau SMEA, dirinya bersikukuh masuk SMA. “Lulusan SPG dan SMEA kan nggak bisa masuk Akpol,” bathinnya.
Setamat SMA dia masuk Akpol dan langsung lulus. “Saya memang telah menyiapkan diri.Pagi-pagi disuruh lari sama bapak kos saya itu. Dibangunkan diajak lari-lari, saya pun ikut lari terus kemudian diajari kalau tes jasmani, seperti ini, pisikologi begini-begini diajari sama beliau. Terus kemudian saya mengikuti tes pada saat tes itu saya yakin sajalah.”
Dan Waris benar-benar lulus tanpa didampingi sama sekali. Dia mengaku orangtuanya orang kampung, waktu disodori surat pernyataan kesanggupan mengembalikan biaya apabila meninggalkan pendidikan, ayahnya tak mau tanda tangan. Karena takut dari mana harus mencarikan uangnya nanti. Akhirnya waris mengadu ke ibunya dan akhrinya ibunya yang tanda tangan setelah diubah di formulir.
Sejak lulus Akpol 1990 sampai sekarang Waris melulu tugas di kesatuan Brimob. Mula-mula Danton di Satbrimob Pus sampai menjadi Komandan Kompi di sana, walau sempat diselang-selingi pendidikan PTIK dan KIK UI. Setamat KIK UI, Waris menjadi Dan Yon Sat Brimobda Polda Jawa timur berkedudukan di Malang. Tahun 2005 mengikuti Sespim, setamat Sespim menjadi Kaden A Brimob Polri dan sejak 2007 menjadi Kasat Brimobda Lampung. Sebagaimana galhibnya Brimob, Waris pun kerap mengikuti penugasan operasi. Mula-mula Tahun 1994 Dalam Operasi Pulau Galang pemulangan pengungsi Vietnam di Riau, Tahun1998 Komandan Kontingen ABRI Masuk Desa antar Pulau di Aceh Barat, Tahun 1999 Operasi PPRM di Aceh, 1009 juga Operasi Sadar Renjong Aceh, 2003 Operasi Tegak Rencong, Tahun 2003 Operasi Darmil, 2006 Operasi Mutiara di Maluku, lalu Operasi Perdamaian Poso. Berikut wawancara dengan Waris. Petikannya:
Ada pengalaman yang menarik sewaktu mengikuti operasi?
Banyak. Setiap penugasan punya kesan sendiri-sendiri. Namun yang berkesan sekali sewaktu Operasi Mutiara tahun 2006 di Maluku. Di situ saya bertemu dengan ustad-ustad, kepada saya disampaikan bahwa setiap manusia mempunyai kewajiban untuk berdakwah. Karena itu dulu para nabi diutus berdakwah untuk mengagungkan asma Allah namun karena nabi sudah tidak ada lagi siapa yang akan meneruskan usaha dakwah,yah umat manusia akhir jaman ini.Dakwah dapat dilakukan dengan bermacam-macam.Ustad menawarkan untuk ikut dalam usaha dakwah tersebut.
Apabila usaha dakwah berjalan maka tugas polisi enak, karena tugas ini diemban oleh setiap orang. Bukan ulama saja. Jika setiap orang tidak akan lagi mengenal agama, azab terjadi dimana-mana, bila ada kerusakan maka ini bukan salah siapa-siapa karena manusia tidak punya iman lagi.
Karena ini ada hubungan dengan tugas kepolisian lalu saya bertanya bagaimana tehnik dakwahnya, dijelaskan sama seperti Rasul SAW. Rasul berdakwah tidak minta bayaran tapi mendatangi umat, seperti polisi. Polisi yang mendatangi masyarakat bukan masyarakat didatangi polisi.
Mulaiilah saya tertarik. Apalagi di dakwah ada batasan-batasan yang sama dengan batasan di kepolisian, misalnya tidak bicara politik, tidak bicara aib masyarkat, tidak boleh bicara khilafiyah, lalu mendekati ulama, ahli tasauf dsb.
Berapa lama proses sampai Anda mengikutinya ?
Dua bulan. Sebenarnya saat di Kelapa Dua (Mako Pus Brimob, red) saya melihat jamaah selesai salat membaca hadis tentang keutamaan salat, dakwah baca Al Quran. Menurut saya itu bagus, kemudian di Ternate mulailah saya berjaulah dengan ustad. Saya ikut berpakaian sunnah (gamis, red), orang tidak tahu bahwa saya adalah Kaden Satbrimob. Ternyata bermanfaat untuk tugas kepolisian. Dari sini saya tahu bagaimana citra polisi di lapangan. Informasi yang saya dapat ini saya sampaikan ke bapak Kapolda
Adakah perubahan prilaku dan kebijakan dalam diri Anda kemudian?
Ya. Kita kan belajar, bahwa dalam hadis disebutkan bahwa orang yang kuat adalah orang mampu mengendalikan amarahnya. Saya sempat terkejut dengan bunyi hadis ini. Sebab selama ini kalau lihat anggota yang bersalah langsung saya hantam saja. Nah dengan dakwah ini saya dapat memberikan peringatan dengan lemah lembut. Kalau dulu saya keras kini saya sering ajak anggota salat berjamaah. Yang tidak salat saya tanya masak kita dipanggil komandan cepat, apalagi Allah yang memanggil. Nah dengan cara ini ternyata anggota mendidiknya lebih mudah.
Dan keuntungan lain?
Ada perubahan yang besar dalam diri saya menyangkut keimanan. Saat operasi di Aceh kalau tidak ada keyakinan kepada Allah yang menolong mungkin saya sudah meninggal, karena kita disana sering disanggong, dan saya tidak pakai pakaian anti peluru.
Apakah dakwah ini sejalan dengan tugas ?
Justru ini saya sangat tertarik dengan dakwah ini. Saat saya di Malang mendirikan Polmas kami sendiri yang mendatangi warga dari rumah ke rumah untuk melatih anjing milik warga dengan anjing pelacak herder. Nah tehnik mendatangi warga dari rumah ke rumah adalah tehnik dakwah yang saya ikuti artinya sejalan.
Memimpin Brimobda Lampung ini, apa saja yang Anda lakukan?
Sebenarnya saat saya ditugaskan Mabes di sini, saya bertanya dengan diri saya apakah saya mampu untuk melaksanakannya. Saya salat dan percaya bahwa Allah menolong saya. Saya lalu melakukan audit kesehatan organisasi, terutama kondisi seputar manusianya bagaimana, kemampuannya, disiplinnya, kondisi fisik terutama rohaninya. Saya melihat dalam masalah pembinaan rohani telah berjalan namun hanya membaca yasin kemudian mendengarkan ceramah. Ini lalu kita tingkatkan setiap Jumat anggota kita sebarkan untuk salat berjamaah dengan masyarakat, sehingga tidak ada lagi kesan ekslusif.
Jika satuan itu eksklusif atau tidak mengenal masyarakat ia akan cenderung arogan, merasa paling hebat. Tapi dengan mengenal masyarakat polisi mempunyai akan menjalankan sifat pelindung dan pengayoman. Ternyata tanggapan masyarakat terhadap program ini positif. Dan sebelum di Lampung, program ini sudah dijalankan di Ternate dan juga di Kelapa Dua tanggapan masyarakat pun baik. Jadi yang kita jalankan di sini meneruskannya saja.
Ada umpan balik setelah mereka berbaur dengan masyarakat, misalnya laporan atau sebagainya?
Sebenarnya mereka diberi satu kewajiban untuk mengenal satu orang saat mereka berbaur dengan masyarakat. Dan untuk diingat kegiatan pendekatan diri ke masyarakat juga berlaku juga bagi non muslim, sebagai contoh umat Kristen setelah saat mereka ke Gereja pun harus kenal dengan satu orang itu. Nah, kalau satu tahun berapa banyak dia kenal orang. Sudah mengenal 365 teman. Itu satu detasmen. Jadi tiada hari tanpa kawan baru, itu untuk bidang rohani.
Untuk peningkatan fisik?
Untuk pembinaan fisik dengan bela diri. Saya buktikan di Malang dan Kelapa Dua. Sebab bila setiap anggota memiliki kemampuan bela diri rata-rata sama maka dia mampu untuk ditugaskan kemana saja. Kalau di sini kita memilih olah raga bela diri Tarung Derajat karena ternyata sebelumnya di sini sudah ada, namun belum maksimal pembinaannya. Hanya beberapa personal saja. Maka kita masalkan. Seluruh anggota Brimob ikut. Dan olah raga Tarung Derajat ternyata filosofinya sangat tinggi. Misalnya di sana ditanamkan menghormati orang, walau kita mempunyai kemampuan tapi kita harus bersikap ramah. Aku ramah bukan berarti takut, aku tunduk bukan berarti takhluk.
Bagaimana dengan hasil program selama ini, apa bisa dilihat dari penurunan angka pelanggaran disiplin misalnya?
Saya lihat tingkat kedisiplinan meningkatlah. Fisik juga demikian, dulu waktu saya pertama kali datang bertugas di daerah ini mereka diajak lari, lima belas menit mereka sudah teriak-teriak. Sekarang nggak lagi. Tapi pelanggaran tergantung kita melihatnya. Begini tahun 2006 lalu, banyak yang melanggar namun hukuman belum diberikan sehingga tahun ini kita berikan sanksi, jadi pelanggaran tahun ini terkesan banyak padahal pelanggaran tahun lalu. Kalau ini tidak kita berikan hukuman maka kasihan dengan anggota yang lain. Kita juga memberikan penindakan untuk memperbaiki anggota itu sendiri hukuman ini bukanlah balas dendam, tapi demi kebaikan anggota itu sendiri.
Pelaksanaan Polmas di Brimob bagaimana?
Polmasnya sama sebagaimana kami terapkan di Ternate dulu, Polmas untuk Brimob sudah ada pedoman pelaksanaan Polmas sudah diterbitkan Kakor Brimob dan itu memang berbeda dengan Polmas dengan satuan kepolisian wilayah. Brimob Polmasnya Brimob ikatan regu atau kelompok, Polmasnya wilayah kan sendirian. Makanya dengan digabungnya dengan kegiatan agama itu dia ada posko ditempat-tempat ibadah itu. Kalau poskonya di warga masyarakat kita nggak bisa ngontrol. Dengan kegiatan agama maka dia belajar silaturahmi dari ke rumah-rumah, mengenalkan diri nama. Misalnya nama saya Haris saya dari Masjid Mujahidin Brimob Rawa Laut, saya menawarkan bapak ke mesjid untuk salat berjamaah. Lalau setelah salat diajak ngobrol. Ngobrolnya agama memang awalnya cerita tentang dunia kamtibmas dan bicara agama
Anda sekarang masih menjalani kegiatan dakwah ini ?
Insyaallah masih.
Banyak nggak anggota yang tertarik?
Banyak. Tiap akhir minggu, sebanyak 14 sampai dengan 20 orang kita keluarkan jemaah untuk ikut kegiatan agama bersama santri, anggota masyarakat luar. Jadi tidak untuk anggota kita saja. Dengan demikian masyarakat kenal dengan warga. Kalau kita tanya setelah mereka iktikaf tiga hari itu anggota sudah bisa mengaji salat, pulang lebih santun dan jaringan lebih luas. Nah, bicara jaringan, empat bulan saya di sini jaringan saya sudah banyak, sebab jaringan ini diperoleh dari pendakwah-pendakwah itu, jadi informasi kita lebih banyak Dan untuk diketahui ikut dakwah ini bukan untuk ketenaran dunia. Saya ikut untuk memperbaiki diri saya dan bersilaturahmi dengan warga. Karena janji Allah bagi orang yang bersilaturahmi maka akan dipanjangkan umurnya, diampuni dosa-dosanya, diluaskan rezekinya. Bagaimana tidak panjang umurnya kalau saya saja bertemu dengan Anda bawaannya guyon-guyon, tertawa melulu, nah dengan demikian lupa dengan berbagai masalah-masalah,sebab kita berbicara iman dan amal saleh, tidak bicara kejelekan orang, bicara iman maka iman kita meningkat. Diluaskan rezekinya mana tahu kalau saya bersilaturahmi ke rumah bapak, bapak ada jeruk, apel. Kita tidak berharap demikian namun kita hanya berharap kepada Allah. Lalu diampuni dosa-dosanya, dan ini adalah janji Allah.
Lalu dari visi, misi ini Brimob mendukung?
Ya. Sebab menurut saya pembinaan rohani penting. Bukan hanya pembinaan fisik, administrasi, operasional, jasmani. Rohani paling penting karena kalau orang hanya mementingkan jasmani saja dan tidak memikirkan rohani maka orang tersebut akan bersipat hedonisme lalu materialistis. Tapi kalau kebutuhan rohani telah diberi makan maka tersebut akan pandai bersyukur, Alhamdulillah ada rezeki. Hidupnya akan lebih makmur dan bahagia. Karena bahagia bukan karena jabatan dan harta, kebahagian itu bila seseorang menjalankan agama dengan cara sempurna. Kalau Allah letakkan kebahagian hidup dalam harta maka hanya orang berharta saja yang bahagia. Kalau Allah meletakkan kebahagian dalam pangkat maka hanya orang memiliki pangkat saja yang bahagia yang tidak mempunyai pangkat maka tidak akan bahagia. Kalau rohani polisi tidak kuat maka dia akan mencari tambahan dengan cara melenceng, tapi bila rohaninya kuat maka dia akan cari tambahan dengan cara yang halal. Apalagi polisi ini banyak yang jadi ‘kontraktor’, rumah mengontrak lalu kredit motor. Brimob ditata rohaninya agar menjadi baik. Karena Brimob juga banyak yang ‘kontraktor’,rumah kontrak kredit motor. Hanya 20 persen yang memiliki rumah sementara 80 persen kontrak. Yang menjadi persoalannya, biasanya godaan, karena ada imej masak polisi miskin? Itulah dengan ilmu agama tadi anggota dapat menjelaskan kepada warga bahwa tidak setiap polisi miskin, ada yang kaya mungkin pintar berbisnis, polisi banyak temannya mungkin juga dia dapat warisan dari orang tuanya, atau disokong oleh keluarganya.Kalau ada imej bahwa polisi itu kaya dengan cara yang kurang baik maka itu harus dibuktikan dan kita suuzon lagi.
Dalam beberapa bulan ini, setelah Anda bertugas di sini apakah ada anggota yang berubah prilaku?
Insyaallah ada. Kemarin saya mengajak anggota ikut kegiatan pesantren kilat tiga hari, ada yang berubah prilakunya.Yang merubah sifat ini bukan kita tapi Allah, kita hanya berdoa ya Allah rubahlah sifat si A ini.
Ada yang menolak kegiatan?
Ada. Kita telah memperintahkan tapi dia nolak-nolak begitu. Alasannya istri sakit, padahal istrinya tidak sakit. Tapi begitu dia keluar rumah katanya kepada isterinya dia ikut program agama. Nggak tahunya dia bergaul diluar, timbul masalah, dia dugem.Uang habis nggak mau bayar akhirnya ribut. Diajak ibadah nggak mau tapi maksiat mau akhirnya ketangkap juga. Itulah hukuman yang ditunjukkan Allah, dia mendapat tarbiyah (pendidikan) sendiri.
Anda sendiri mempunyai motto dalam hidup?
Banyak. Saya menerapkan prinsip, tiada hari tanpa kawan baru. Lalu, jiwa ragaku demi kemanusiaan. Dan dalam berbuat saya punya motto, orang lain baru berfikir kami sudah berbuat. Dan, kami juga berprinsip, “Kami bukan yang terbaik, tapi kami akan lakukan yang terbaik.”(*)
Kargozari (Laporan) Karkun Mas Lilik :

Dikutip dari : http://liliekprasetyowidiyono.wordpress.com/2009/02/19/akbp-drs-waris-agono-msi-dan-usaha-dakwah/

IJTIMA SERPONG 09

Bangsa Yang Besar Adalah Bangsa yang Selalu Ingat Akan Sejarahnya & Agama yang Besar Adalah Agama yang Senantiasa Ingat Pada Perilaku & Perbuatan (Sunnah-Sunnah) Pembawanya . Insya Allah…
DSC_0004Kagum, takjub dan masih banyak lagi perasaan yang berkecamuk di hati setiap orang yang menghadiri ijtima serpong pada tanggal 18 – 20 juli 09. Ratusan ribu manusia berkumpul menjadi satu, datang dari seluruh pelosok daerah bahkan tidak sedikit yang datang dari mancanegara. Jelas sekali tampak kehebatan usaha dawah ini. Tanpa gembar-gembor media , tanpa harus memasang spanduk besar di setiap perempatan jalan, tanpa bayaran dan penggalangan dana serta tanpa pengkultusan terhadap individu. Mereka semua datang dengan iklas semata-mata karena Allah , rindu dan haus akan agama. Ratusan kilometer mereka tempuh baik dari darat udara dan laut tanpa rasa lelah, tak terhitung biaya yang mereka keluarkan agar dapat sampai di medan ijtima.
DSC_0003Tidur hanya beralaskan seadanya, ditempat terbuka bahkan terpaan hujan dimalam hari tak juga menyurutkan langkah mereka untuk tetap berada di medan ijtima selama tiga hari. Jutaan air mata dan doa tertumpah dalam ijtima, memikirkan keadaan umat yang telah jauh dari agama ,berharap agar setiap diri mau kembali kepada agama , mau kembali mengambil tanggung jawab atas kerja dakwah sebagaimana dahulu Rasulullah saw dan sahabatnya lakukan. Disini tidak membicarakan perihal dukung mendukung capres , disini pun tidak memikirkan trik-trik agar masuk dalam jajaran pemerintahan karena salah satu tujuan usaha dakwah adalah menghilangkan sikap saling menjauhkan, saling berprasangka buruk , kemunafikan, dan tidak adanya kasih sayang di kalangan umat.
DSC_0032Dalam usaha dawah dan tabligh ada hal-hal yang sangat di tekankan melebihi hal-hal lainnya. Yakni ilmu dan dzikir, agar usaha dakwah ini tidak kembali menjadi jasad tanpa ruh atau sekedar tulisan tanpa penjelasan, atau sekedar kumpulan kaidah dan cara-cara kosong sebagaimana gerakan-gerakan lain yang tumbuh kemudian menghilang. Kerja dakwah dan tabligh sangat berkaitan erat dengan hati, sebagaimana ia juga berkaitan dengan anggota badan.
DSC_0027Sesungguhnya mengorbankan perasaan, diri dan jiwa di jalan Allah adalah pengorbanan yang tidak mahal, tetapi sangat penting dalam gerakan ini. Bahkan itu adalah tujuan yang hendak di capai. Rahmat Allah swt akan turun sesuai dengan kepedihan hati menanggung kesabaran , kesulitan, dan musibah serta menahan perasaan, dan cucuran air mata dalam mengembalikan kesadaran umat Islam tentang tanggung jawab mereka terhadap penyebaran agama.
DSC_0039Setiap orang yang berusaha tidak akan berhasil, kecuali usaha yang dilakukan dengan sungguh-sungguh. Keberhasilan itu tergantung pada kesungguhan dalam meraihnya dan Allah swt tidak akan memberikan kebahagian, kedekatan , dan kebaikan di akhirat selama kita belum menempatkan usaha agama di atas usaha dunia.
DSC_0015Setiap muslim sudah seharusnya mengorbankan diri dan harta mereka dalam usaha dakwah tanpa keraguan  karena sesungguhnya setiap diri akan merasakan surga dengan segala kenikmatannya sejak didunia ini jika kita menjadikan usaha dakwah ini sebagai maksud hidup dan yakin bahwa sesungguhnya Allah swt tidak akan menyia-nyiakan pahala orang-orang yang berbuat kebajikan . Sesungguhnya dibalik kematian di jalan ini ada kehidupan yang hakiki.
DSC_0003Rasanya jutaan tulisan tak akan bisa menjelaskan tentang usaha ini tanpa kita sendiri ikut terjun langsung di dalamnya dan menjadikan dakwah sebagai maksud hidup kita.
DSC_0045Sesungguhnya semua hubungan itu mati selama tidak berada di bawah kaki Rasulullah saw,  yakni hubungan yang di jalanin bukan untuk panji-panji Islam, maka hubungan itu kosong dari ruh tidak mengandung kebaikan dan keberkahan.
DSC_0006Semoga Allah memberi kepahaman tentang masalah ini kepada kita semua sehingga Allah gunakan diri, harta, waktu dan fikir kita untuk agama-Nya, sehingga setiap apa-apa yang ada didalam diri kita menjadi asbab hidayah untuk seluruh alam.
DSC_0011Ya Allah !!! Jangan Engkau uji kami dengan ujian sebagaimana para sahabat nabi-Mu
Ya Allah !!! Hantarkan kami ke seluruh alam dengan asbab atau tanpa asbab pada kami.
Ya Allah!!! Pilihlah kami dalam kerja dakwah sehingga Engkau jadikan dakwah maksud hidup, hidup untuk dakwah, dakwah sampai mati dan mati dalam dakwah.

Ya Allah !!! Hancurkan lah orang yang menjadikan kerja dakwah ini untuk kepentingan dunianya.

Subhanallahi wabihamdika ashaduala ilaha ila anta astagfiruka waatubuhu ilaik’
Wabilahi taufiq wal hidayah wassalamualaikum warahmatullahi wabarakathan lil alamin…

NB : Selama ijtima berlangsung dilarang keras mengambil gambar baik gambar mubayin maupun suasana ijtima, berhubung iman saya lemah dan masih belum bisa tertib saya mengambil beberapa gambar, semoga Allah swt memaafkan saya dan memberi kekuatan kepada saya untuk selalu berada di atas tertib , amien.  ( untuk Mas Kunto dan Rio potonya ambil aja di FB gw ) bis gak bisa kirim email gak ngerti )
All Teks From Blog Mas Landy Akbar : http://harapandiri.wordpress.com/

Keeping Busy On the Path of Allah The Self-Organisation (Intizam) of the Tablighi Jama’at

In recent years the Islamic missionary movement of the Tablighi Jama’at has attracted increasing attention, not only in South Asia, but around the globe. This is partly to do with the huge number of followers assembling at its annual congregations in India, Bangladesh or Pakistan, often counting between one and two millions. This attention is also generated by the fact that traditional Islam did not know an organised proselytising movement until the Tablighi Jama’at was formed. The by now global network of its activities is another instance where Southasian Islam has contributed to the evolution of global Islamic activism.
While their congregations - ijtima - create much publicity and the groups of their travelling preachers are widely known and recognised among Muslims, little is known outside the movement about the way it operates on a daily basis, how it organises its activities on a mass scale. This self-organisation in daily parlance is called intizam (administration). But in writing it is rarely admitted to exist. The current paper is based on interviews with informants in Aligarh, Bhopal and Delhi in December 2001 - January 2002, unless mentioned otherwise. It seeks to highlight the practical dimensions of the Tabligh work which is rarely documented in academic publications. So far mostly the hagiographic and propagandist literature of the movement has served as the basis for analysis (Anwarul Haq 1972; Masud 2000). The movement has often successfully deflected investigative attempts by non-Muslim scholars. However, lately the number of case studies has increased. They concentrate on the movement’s transnational activities in countries such as Bangladesh, Britain, and Morocco (Yoginder Sikand 2002; Faust 2001); or on local branches such as in the Indian state of Orissa (Zainuddin 2001). The internal workings of the Tablighi Jama’at still await definitive treatment.
The philosophy of the movement has been discussed in the academic literature extensively. It is summarised in the famous six points, demanding to focus attention on (1) the confession of faith by reciting the kalima; (2) praying regularly and correctly (salat); (3) acquiring religious knowledge and remembering God (ilm, zikr); (4) respecting fellow-Muslims (ikram); (5) reforming one’s inner self through pure intentions (niyyat) and (6) going out in the way of God (nafr) (Faridi 1997: 114-116).
The movement’s self-declared objective is the so-called internal mission, to make Muslims better Muslims, as the Tablighis say. It strongly denies any political ambitions. Yet its efforts to ‘re-islamize’ large numbers of Muslims cannot but have political consequences if only by providing a fertile ground for the activities of Islamic political parties and radical or militant groupings. The movement is pre-dominantly male-oriented, although it does organise women’s activities on a limited scale in ways strictly conforming to prescriptions of dress and modesty by Islamic law. Women’s activity may partly be regarded as emancipatory, if compared with traditional gender roles in South Asia or in other Islamist movements (See Barbara Metcalf in: Jeffery, Basu et al. 1999; Masud 2000).

The travelling preachers

The Tablighi movement came into being in 1926 when Muhammad Ilyas (1885-1944) started preaching correct religious practices and observance of rituals to Muslim tribes in the region of Mewat around Delhi (Cf. Mayaram 1997). In this Ilyas joined other Muslim activists and groups who opposed the Arya Samaj preachers since the early 1920s. The area had become a battle ground for the souls of the local tribal population whose ancestors had converted from Hinduism to Islam. Since then the tribesmen had retained a number of earlier non-Islamic customs. The reformist Hindu movement of the Arya Samaj aimed at reclaiming these tribes for the Hindu faith into which they would be readmitted after ritual “purification” - Shuddhi - the name by which the campaign became known. Contacting local elders, Ilyas aimed at reorganising the religious and social life of the tribals creating new facilities for religious education and improving social communication through regular council meetings in villages. His main innovation, however, pertained to the introduction of travelling lay preachers who were being dispatched to other Muslim regions in India. Their objective was twofold: the participants should reform themselves on these tours and they should carry the faith to other fellow-Muslims who so far had remained passive or disinterested in the observance of religious practices. Those preaching tours became the hallmark of the Tablighi movement. Today Tablighi lay preachers practically cover the whole Islamic world and all western countries where Muslims live.
The groups are formed at the local Tablighi centre which is usually attached to a Deobandi mosque or madrasa. Starting with Ilyas’ personal association with the Dar al-Ulum of Deoband, the movement has been supported by religious scholars, ulama, propagating the purist teachings of this seminary located in the north Indian state of Uttar Pradesh (U.P.) (Metcalf 1982). The Tablighi movement also kept close contact with the Nadwa seminary from Lucknow, the capital of U.P. (Malik 1997). Lists of volunteers are being kept at the Tablighi centres where destinations and routes of preaching groups are decided and reports are submitted afterwards.
The groups are expected to take care of their own travel expenses. This condition puts a ceiling on the travelling ambitions of some members as groups may travel to other countries and even continents. Yet there has always been some speculation that part of the travelling expenses, as well as of the cost of running the organisation, is borne by unnamed benefactors who may be private citizens from the business community, but also from sympathetic countries such as the Gulf States.
The association of followers with the movement is mostly a temporary one, lasting for the duration of the particular preaching tour. Those counted among the regulars would spend three days or more per month on Tabligh activities. Regulars would make up between 10 and 25 % of Tablighi followers. Some give up their worldly pursuits entirely to spend their life in the service of the movement, either at its administrative and religious centre, the “Bungalow Mosque” in the Nizamuddin area of Delhi or at some local centre. They would lead a pious and ascetic life not dissimilar to the Hindu holy men, living on donations by family members or fellow Tablighis. This may occasionally create problems for the families of these lifetime Tablighis who lose their bread-winner. It is therefore officially discouraged but occasionally condoned.
The travelling groups would usually arrive at a local, mostly Deobandi mosque. There they would stay for two to three days and sleep inside the mosque - which is a practice not fully accepted by all ulama. They always are self-sufficient with their bedding and cooking utensils which they carry with them. After prayer they go out and tour the local Muslim community. They knock on doors of most houses to invite people to come for the next prayer to the mosque. While responses vary, between 2 and 10 % of those approached may turn up at the mosque out of which some might have come anyway to say their regular prayer there. After a joint prayer they are given an inspirational religious talk (bayan), reciting religious principles, instances from the Quran and the Prophetic traditions (hadith). Usually a session of religious education follows (ta’alim). This consists of reading from a book written by one of its founding fathers, Maulana Muhammad Zakariya (1898-1982), “The Virtues of Good Deeds” (Faza’il-A’mal), which the movement has adopted as standard educational reference material (Zakariya, 1994). It presents a compilation of religious texts, mainly Prophetic traditions. Then those present are called upon to volunteer for future preaching tours (tashkil). People stand up and give their name and local association which is being noted down in a special register or book kept at the mosque. Later the new volunteers will be taken up on these pledges and reminded to live up to them. When the group returns to its home base it will report to the local Tabligh centre either in oral or written form (karguzari).
Derived from the travelling practice as its main form of activity, the official arrangements for the work of the movement are kept deliberately provisional and temporary. It is part of the self-image of the movement that it is wholly based on voluntary work with little or no administrative input. The movement keeps no official publications, no formalised leadership structure, no written set of rules or objectives. Yet this self-representation carefully camouflages a different reality of a highly hierarchical leadership which exerts significant moral and social pressure for compliance, a reality that comprises a wide range of unofficial publications detailing the guidelines and the rules by which the work has to proceed, a reality that includes a differentiated and well-defined administrative structure. There is an unwritten constitution of the movement that determines in great detail what issues are confronted in what way and how the work, that is organising the preaching tours, is being conducted, how new members are being attracted and how issues of leadership and guidance are being solved.

The congregations

Next to the preaching tours, its congregations (ijtima) constitute the most well-known feature of the Tablighi movement. They are of various scope: local, regional, national or international/global. A sub-variety is constituted by student or youth ijtimas. On one side they take up the tradition of the weekly Friday prayer congregation at the local mosque, on the other they represent a kind of community ‘orientation’ meeting, which perhaps has grown out of the initial local community meetings in Mewat with religious scholars and tribal elders.
Basically their programme closely follows the itinerary of the preaching tours, consisting of joint prayers, inspirational talks, readings from the Zakariya volumes, calls for volunteers to register for future preaching tours, and in addition a concluding prayer of supplication (du’a).
Ijtimas are being held regularly on fixed days at the local Tabligh centre, usually once a week. They are held at or around prayer times to induce the faithful of the area who come to the mosque for prayers to participate in the Tabligh meeting as well. These ijtimas facilitate social communication and networking among followers.
From these, the grand national meetings stand out in a category of their own. The annual congregations of the Tablighis in Bangladesh, India and Pakistan are remarkable for the huge numbers they attract and the amount of publicity they generate, among the local population, but also on a wider scale in national newspapers and international media. Tablighis use to stress that these meetings represent the second-largest congregation of Muslims after the Hajj. Reports assume that up to two million people participate in the Bangladesh meeting in Tongi, between one and one and a half million in India and Pakistan each. The latter usually takes place at Raiwind, the location of the Pakistani centre of the movement near Lahore. In India, major annual congregations were held at different places, although now they seem to have settled on the longstanding Bhopal ijtima. For about 50 years it was held at its huge mosque Taj ul-Masajid (crown of the mosques) but has shifted recently to open fields outside the city for want of space. The congregations seem to be important venues for mobilising support not only among Muslims, but also among Non-Muslims and secular elites, notably politicians. The Presidents and Prime Ministers of Bangladesh and Pakistan have repeatedly used the meetings to rub shoulders with the praying millions on occasions that are bound to attract mass media attention.[1] The former head of the Afghan Taliban regime, Mulla Omar, was also reported to have attended the Pakistan congregation. In India cooperation with state authorities is smooth and traditional, although less publicity-oriented. Tablighi leaders seem divided over the merits of such huge meetings. Muhammad Yusuf (1917-1965), second Amir of the Indian Tablighi Jama’at, had already emphasised that the regular work in propagating Islam was more important than the meetings. There are attempts made in India nowadays to scale back the national congregations in favour of the regular work.
At the national congregation local Tablighi organisations are represented by formal delegations squatting on the prayer ground behind signboards indicating their place of origin. Also attendance from other countries is a regular feature now as the movement has become truly global. Contrary to assertions made by members of the preparatory committees, a huge organisational effort constitutes the backbone of these congregations. Special departments are created for logistical support (food, sound system, medical services, fire services, security, transport), usually in close cooperation with state authorities for which the organisers are often not charged. Local businesses also provide their services often for free, regarding it as a moral duty and an effective form of ‘product placement’. A huge department takes charge of coordinating the routes of all participants for preaching tours as the congregation winds up with sending off all participants on their respective tours having recharged their motivation and energy.
The increasing social function of the movement is displayed in staging mass marriages (nikkah) celebrated by prominent luminaries of the movement. Also the concluding act, the prayer of supplication (du’a) apparently holds an enormous social importance. It is this prayer which attracts huge additional crowds from among the local population seeking benediction (barakat). It is they who swell the participating numbers to the millions making clear that the actual number of participating Tablighis is significantly less than generally assumed.

The local mosque scheme

The Tablighi activists devote growing attention to a scheme that has slowly but steadily evolved over the past decades, the formation and operation of a local ‘mosque group’ (masjidwar jama’at) in contrast to the travelling preaching group, the Tablighi Jama’at. It considers the local mosque as the basic unit of operation. The details of this scheme have been fixed in a rigid grid of demands that are made on its participants on a daily basis. It rests on the understanding that every potential follower of the movement is always and first member of his local mosque group. This makes the scheme somewhat akin to ideological structures of mobilisation. In particular, one comes to think of the basic units of the Communist movement. In reality, it is only the regulars who are involved in it. It requires
  • to attend all five prayer sessions at your local mosque which are used to fulfil specific functions for the movement;
  • to form a council (shura) which meets daily, and to attend its sessions at one of the prayer times;
  • to spend 2 1/2 hours daily of dedicated Tabligh activities in meeting fellow-Muslims and inviting them on to the path of Allah in an individual capacity which is called ‘meetings’ (mulaqat);
  • to conduct two educational sessions (ta’alim) daily by reading from the Zakariya volumes for about 30 to 45 minutes, one at the mosque and one at home;
  • make two rounds of preaching walks (gasht) per week, around the immediate neighbourhood on one day — which is fixed for every local mosque
  • and around the adjacent mosque area on their fixed day.
As a faithful follower of the movement you will also want to attend the ijtima of your locality which comprises several mosque areas (as mentioned above). Once you engage in all these activities you are certainly counted among the regulars. You will then want to consider also the other obligations which are prescribed for regulars in ascending order one in addition to the other. These in particular suggest to spend a fixed amount of time on Tabligh tours, beside the daily 2 1/2 hours and the weekly two days in your own and the adjacent locality as mentioned above, that is
  • to three days per months on a full preaching tour to another locality in your home region;
  • 40 days per year, called by the Sufi term chilla, generally a longer period of withdrawal or seclusion for contemplation and prayer, which could be to other states or provinces of your country, but also to other countries;
  • the ‘grand chilla ’, consisting of 3 consecutive chillas, once during your lifetime, which equals four months (120 days);
  • for the ardent there are even longer chillas, mostly when going abroad, for a period like 7 months, or on foot across the country for a whole year (Cf. Hasan, 1982: 772).
Committing yourself to these activities puts a heavy burden on the shoulders of every regular. It is not uncommon that those doing so tend to neglect their worldly engagements. At the same time, the mobilising efforts can also have affirmative results. A survey made at Aligarh University in India was said to have shown that the academic achievements of Muslims students who were Tablighi regulars significantly surpassed those of their co-students.
Yet a regular can hardly pursuit his predilection for Tabligh work unless he makes it his lifetime occupation and doesn’t count the hours. This also entails social consequences with regard to Tablighi family life. Several informants suggested during interviews that those families where both partners were actively involved in Tabligh work tended to have fewer children. They would have more simple marriage ceremonies - because they shun ostentatious expenditure – and they have easier divorces - because they don’t ask for bride money, both under the influence of reformist teachings.[2] Young Tablighi activists even seek out the advice of their elders in questions of finding suitable partners tolerant of the demanding Tabligh work.

The leadership question

In its self-representation the movement stresses its egalitarian character. Outgoing preaching groups (jama’at) elect a leader (amir) from among themselves whose orders would be obeyed unquestioningly. Yet he could be any of them, and more important, he is expected to lead through his personal example in his devotion to preaching, praying, religious education, but also in his humble demeanour towards other members of the group, in his readiness to take over ordinary daily chores of cooking or cleaning. Beside this leader of the basic preaching group, the only other leader who is known in public is the national leader of the Tablighis in India or Pakistan (or any other country). The middle rung of leadership is hardly visible to outside observers and not even to irregular participants. Yet the movement is ruled by a clearly defined command structure at every level being both flexible and rigid in turns. It is based on the shura principle gleaned from the Qur’an and the hadith, lead by an amir or a responsible person of varying designation. It is assumed that the Prophet’s practice of consultation with his companions is the example. Council is held in open accessible by all member or interested people, at least in theory. In practice though there is a selection of those attending. And not all business of the movement is conducted in public, if only in the presence of their own followers. There definitely is a closed or secret part of business of the movement which is deliberately kept away from the public eye.
Taking India as an example, where the movement started and its global headquarters are located, the leadership structure comprises the following levels:
  • The lowest level is the travelling preaching group, the Tablighi Jama’at. Leadership here is a temporary assignment for the duration of the tour. As the size of the groups rarely exceeds ten, fifteen people, there is no shura formed here. At this level always an amir is selected, or sometimes appointed.
  • Next comes the mosque group where a shura is formed and in operation. But its composition varies. The regulars of the locality take turns in sharing responsibilities. Its leader would be the ‘decider’ – faisal. While his appointment may be confirmed by higher-standing authorities in the movement, the assignment rotates, even at short intervals like after two or three months.
  • The next higher up level would be the locality where a local shura is in operation. In a city like Aligarh there are two Tablighi centres, one in the university area at the Sir Sayyid Hall Mosque and the other at the old town mosque. The shura has four to five members. Its composition and more so the function of faisal is usually confirmed by the higher up Tablighi leaders, either at the state/provincial level or even at the national level. In the case of Aligarh’s university shura due to its eminent status in the Tablighi movement as a centre of learning and the seat of the most prominent Muslim university it was confirmed by the very leaders of the Tablighi movement in India, the Nizamuddin shura at Delhi. The shura members often keep their post until they die. Age in the Tablighi understanding only adds to authority. This shura would also meet every day, but hold council on the more important affairs of the movement in the locality on the day of the ijtima which for the university area was Sundays.
  • There are also shuras in operation at the level of the Indian states and Pakistani provinces. Some of their leaders were formally designated amir. They conduct the affairs of the movement in their state or province fairly independently. Nowadays the new heads of the shura are preferred to be called by the less formal and presumptuous title faisal.
  • Then there is the central Tablighi shura at Nizamuddin. This name is applied to the current collective leadership and also to a larger ruling council. Ilyas was succeeded as amir first by his son Muhammad Yusuf and than by his grand-nephew In’am al-Hasan (1918-1995). After the latter’s death, a collective leadership took over as the movement could not decide on a single successor. It consisted of the Maulanas Saad al-Hasan (grandson of Yusuf and great-grandson of Ilyas), Zubair al-Hasan (son of Inam) and Izhar al-Hasan (maternal nephew of Ilyas). Inam al-Hasan himself was reported to have contributed to the ‘democratisation’ of the movement as he moved to strengthen the role of the shura against the amir and the role of the daily work (within the mosque group) against ostentatious congregations. After Izhar died, this collective leadership or small shura now only consists of two persons. Among these it is Maulana Saad who has now clearly moved to the centre of the movement. He is seen as the new theoretical, spiritual, and symbolic head of the movement. He seems to be immensely popular with followers as can be judged from reactions to his appearance at the 2002 Bhopal congregation. Maulana Zubair apparently concentrates more on the internal structure and organisation of the movement.
Beside the small circle of collective leadership there is a larger shura in operation at Nizamuddin which consists of elders (buzurg or bare) from all over India and counts approximately 15 members. While it meets daily it holds open council on Thursdays on the occasion of their version of the weekly ijtima. Not all its members attend all its sessions. There is a rotation and sharing of responsibilities at work guaranteeing that issues concerning the reception of incoming or preparation of outgoing preaching groups are not left undecided.
On questioning the impression is given by the movement’s representatives that all issues are decided impromptu. While this may often be the case, a certain amount of paper work is apparently still generated and regular offices are also in operation at the centre. Paper work mainly relates to requests (taqaza) from outlying mosques or madrasas for preachers to be sent to them to strengthen the propagation (tabligh) of Islam for whatever momentary local reason. A number of activists runs regular administrative offices at the centre dealing with incoming and outgoing groups, coordination of their travelling destinations and overseeing the work in the regions and provinces. The role of Chhote Sayyid Bhai (’the younger Sayyid’) may serve as an example, a ‘nom de guerre’ by which a Maulana from Nizamuddin went who was in charge of coordinating travel routes for outgoing preaching groups. He also was a member of the preparation team for the Bhopal ijtima 2002, attended by the author. While he explicitly denied any role of regular administrative work in the running of the movement, he was reported to have his own permanent office at Nizamuddin where he kept a huge oversize chart of all possible destinations of preaching tours in the world, complete with the names and schedules of train and bus stations.
A third group of regular full-timers is indispensable for the running of the movement at the Nizamuddin centre. They occupy no formal office yet they attach themselves to certain leading elders and assist them in carrying out their functions. They are sort of religious ‘interns’. The author talked to some who had graduated from universities and now took time out from their civic life supporting themselves on contributions from family members or sharing meagre resources with other Tablighis to be able to devote their full time to the movement. The less sophisticated among them work as ushers there making sure every incoming or outgoing Tablighi or visitor finds his group or stays in touch with his programme. They also shield the centre’s core activities from stray visitors, particularly non-Tablighis and non-Muslims, foreigners, journalists.
Remarkable is the rather strict spatial separation between local/Indian or South Asian Tablighi and foreign Tablighis both at the centre and at the congregation. At the centre they are directed to different levels in the building, at the Bhopal congregation foreign Tablighis were interned in a separate tent camp on the mosque ground for ‘hygienic and security reasons’. For the foreign Tablighis there are always volunteers around who help with translations and organisation. Many foreign visitors who come on a preaching tour to South Asia not for the first time, have picked up Urdu which evolves as a global lingua franca of the Tablighi community.
The movement’s impact cannot be judged uniformly. While it apparently contributes to a strengthening of religious attitudes, and inculcates even bigotry in some followers, it links many aspiring lower middle class Muslims in South Asia with a moralistic version of modernity. In this it can contribute to the moral and cultural emancipation of selected Muslim strata both in a minority setting such as India or in a Muslim majority society such as Pakistan. It can also prepare the ground for groups professing Sunni radicalism or pursuing some form of militancy. Generally it promotes a quietist, value-laden outlook on life, which can be healing and invigorating for many but debilitating for some. Its most worrisome feature is perhaps its closed character, which can generate enormous pressure on participants, although in an open-society context such as India people find it still easy to withdraw from it if they want to. It is difficult to see that it can expand much further and may have reached its peak. Where it will go from here, whether moving into decline or towards a new quality, will be fascinating to watch for political analysts and religious studies experts alike.

Notes

[1] For the 2000 congregation, see Dawn, 5-7 November 2000; for Bangladesh, see AFP: ‘Muslims stream into Bangladesh for the 34th Biswa Ijtema’, dateline 29 January 2000.
[2] This refers to the Puritanism of the concept of islah, a movement for Quran-based reform of behaviour that emerged in Egypt at the end of the nineteenth century and spread to the whole Islamic world.
Quelle: Dieser Artikel von Dietrich Reetz erschien bereits in: Bredi, Daniela (Hg.) (2004): Islam in South Asia. Roma (= Oriente Moderno, 84:1), S. 295-305.
All teks from : http://www.suedasien.info/analysen/1464
Widget Ini